Wednesday, March 10, 2010

I LOVE YOU

padahal aku telah mengeja cinta
dari selongsong hatimu yang merah*

Kini dengarkan aku. Dengarkan aku walau cuma sekali. Dengarkan aku walau kau akui bahwa kini kau tuli—aku tak peduli. Iya sayang, aku tak peduli, bukan karena aku berhenti mencintai. Tidak tidak, tidak pernah sedikit pun terbersit di hatiku untuk berhenti mencintaimu. Tidak pernah sedikitpun aku berniat untuk berhenti mengagumi. Tidak sayang, jangan pernah bilang begitu...percayalah padaku, seperti sekian ratus kepercayaan yang kutanamkan dalam jiwamu.
Ingatkah kau pertama kali dulu. Waktu aku belum mengerti bagaimana caranya untuk mencintai. Ketika aku masih seranum buah mangga, saat aku masih hijau sekali. Kalau kau lupa, mari mengingatlah. Ingatlah aku saat itu, di pertemuan kita kali pertama. Kala usiamu sudah beranjak 25 sedang aku hanya gadis muda...kala kau mengajariku mengeja, mengeja cinta yang kautulis dalam dada.
Saat itu saat-saat yang indah bukan sayang. Kau mengajariku cara mengeja, tidak hanya mengeja kata-kata dalam rupa bahasa, kau juga mengajariku mengeja cinta yang rumit nan sederhana. Aku eja kalimat “i am student” setelah kau tulis kata-katanya di papan tulis hitam. Selanjutnya kueja kalimat “i love you” yang kaugunakan untuk merayu. Kau ajari aku mengeja cinta—aku belajar mengeja hatimu..

Jangan diam saja, belum cukupkah rangsangan yang kuberikan demi kembalinya semua memori itu?...baiklah kalau begitu, ini semua maumu!

“kumohon Marni...sadarlah”.

Tak perlu menyadarkan aku, sayang. Kesadaran membuatku kembali bisu. Maka jika kau ingin aku segera berubah kembali membatu...ingatlah padaku. Berpalinglah sayang. Tatap aku lekat-lekat seperti dulu. Ingatlah aku saat itu, saat usiaku baru saja 15...dan itu sekitar 20 tahun yang lalu.

20 tahun yang lalu, kau tiba-tiba saja datang. Kau tiba sebagai seorang guru yang diperbantukan di desa. Pembawaanmu yang halus. Kacamata kotakmu yang menyempurnakan garis-garis rahang itu. Serta tutur bahasa yang teratur membuatku terpukau dengan guru bahasa Inggris baruku.
Mulanya aku tak tahu bagaimana rupanya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Mulanya pun aku belum kenal rasanya jatuh cinta. Maka kau mengajariku, lewat les sepulang sekolah untuk membiasakan lidahku mengucap kalimat “yes, i do”—kau ajari aku untuk bercumbu.
Ingatkah kau sayang???Suatu petang kau datang ke bilik rumahku yang reyot, kau rayu bapak-ibuku untuk dapat mengajakku berjalan-jalan. Saat itu aku hanya gadis lugu. Gadis lugu yang tersipu malu. Dibelai rambutnya oleh pak guru, lalu merasakan lumatan nafsu dengan kaku.
Rambutku yang panjang sebahu...habis kauhirup (seperti kini kuhirup tar dan nikotin masuk paru-paru).
Pipiku yang sehalus bulir-bulir hujan di hari sabtu luluh kau ciumi.
Saat itu hatiku masih abu-abu. Aku belum mengenal apa itu batasan cinta dan nafsu. Namun kau membimbingku melewati setapak jalan berbatu.
Kau ingat kan, sayang?!?

“Marni...ini aku...ingatlah”.

Ya Tuhan...ya Bapaku...aku justru yang menginginkanmu mengingatku. Aku selalu mengingatmu, sayang. Betapa tidak...kau manusia pertama yang menjamahku, yang menodai kesucian air basuhanku. Kau datang di hidupku yang seharusnya berwarna merah, kuning, jingga, dan ungu. Kau datang dan merubah semua semarak warna menjadi lebih menyala. Kau membantuku sayang. Ingatkah?!?
Kau membantuku menyelesaikan PR. Kau membantuku membawa ibu ke rumah sakit. Kau membantuku melunasi hutang Bapak. Kau membantuku membayar sekolah Marno dan Mirah. Kau bahkan membantu kami untuk tetap bisa makan nasi...kau memang sangat murah hati, untuk itu aku teramat sangat mencinta—mencitaimu!
Cintamu mungkin sudah menggebu kala itu. Tapi cintaku ini ibarat bunga bermekaran. Berawal dari kuncup ketika pertama kau kecup halus pipiku. Lalu merekah ketika kau jamah buah dadaku. Hingga akhirnya mekar sempurna saat kau setubuhi aku.
Ingatlah betapa menggebu kau lucuti pakaianku satu per satu. Ingatlah semua janji manismu. Ingatlah saat kau berkata...”Marni, aku hanya ingin kamu yang menemani, jangan perempuan lain, hanya kamu seorang, only you”.
Ingatkah kau, sayang?...ayo ingatlah, ingat aku dalam tindihan beratmu yang ratusan kilo itu. Ingat aku yang merintih demi menahan rasa sakit sobekan selaput daraku. Ingatlah...kumohon ingatlah.

Aku pun begitu yakin kau mengingatnya...yakin sekali akan ingatanmu tentang itu
Jadi sekarang kau bersedia kan? Bersedia mengingat setiap detik waktu yang kita habiskan. Ayolah sayang, jangan membuatku kecewa.

(kukecup bibirmu sambil membelai lembut rambutmu!)

“Marni...sudahlah, aku lelah”

Aduh sayang. Bagaimana mungkin kau jadi loyo begini. Setahuku 20 tahun yang lalu, kau adalah pria tangguh pencuri keseluruhan jiwaku. Kau curi keperawananku. Kau curi masa mudaku. Kau curi keyakinanku. Kau curi aku...iya...jangan menggeleng, kau memang mencuriku.
Kenapa???
Kau tidak sadar telah mencuriku.
Kalau begitu biar kusegarkan ingatanmu.
Setelah peristiwa malam itu, lalu malam malam selanjutnya, disusul malam malam berikutnya, aku pun mengandung. Usiaku 16 tahun saat itu. Setelah kehamilanku bertambah besar, mau tak mau kau pun harus menikahiku. Mau tak mau aku pun dinikahimu.
Ya...aku memang dinikahimu. Dinikahi dengan pria yang usianya jauh diatasku. Mantan guru sekolah menengah pertamaku. Dengan keyakinan yang berlawanan denganku.
Saat itu aku menerimamu. Seperti menerima dengan pasrah keinginanmu untuk memaksaku mengubah panggilan Tuhan. Seperti menerima keinginamu untuk membuatku berhenti mengumandangkan doa dalam bahasa yang tak kau kenal. Seperti menerima kenyataan bahwa kini aku hanya perlu duduk bersimpuh untuk bertemu Tuhan. Aku sangat menerimamu, menerima kehadiranmu dihidupku. Menerima tindihan berat badanmu diatas tubuhku. Menerima tindihan berat bebanmu diatas hidupku

Jadi berbaik hatilah barang sedikit. Ingatlah dan tataplah aku seperti dulu. Seperti ketika kau remas payudaraku dengan gemas.

“Marni...demi Tuhan, ampuni aku”

Bukan aku yang seharusnya mengampunimu. Aku bukan Tuhan, aku belum pantas jadi Tuhan. Aku ini hanya manusia lemah berusia 30 tahunan yang habis kau serap sarinya. Aku ini hanya ibu 4 anak yang sibuk mondar-mandir kamar dan dapur. Aku bukan Tuhan—dan tidak ingin jadi Tuhan.
Akupun tak meminta pengampunanmu, sayang. Aku hanya meminta sedikit kesegaran ingatan. Ingatan indah tentang masa-masa kita yang silam. Masa-masa dimana kau merenggutku paksa. Masa-masa dimana akhirnya aku menyerahkan sepenuhnya tampuk kepemimpinan hidupku.
Ingatkah....
20 tahun yang lalu. Ketika kau nikahi aku. Bukan langgar dengan karpet hijau terhampar yang menjadi tempat kita bersumpah setia. Kau tuntun aku, bapak, ibu, serta Marno dan Mirah untuk duduk menghadap salib Tuhanmu.
Air suci terpercik di kepalaku, sebuah janji ikatan kulafalkan dalam satu keyakinan yang tak kupercaya. Percaya tak percaya, aku harus percaya. Aku harus mempercayai semua ajarannya dan menghapus semua ingatanku akan keyakinan yang selama ini kupegang teguh. Ini demi kau...demi kau...bukan demi kita.
Setelahnya kau bawa aku dalam rumah yang kausebut surga, sedang aku lebih suka menyebutnya neraka. Bagaimana tidak, di usiaku yang masih muda, aku harus mengurusmu juga ketiga adikmu yang beringas. Di usiaku yang sangat belia, aku sudah berperan ibarat ibu rumah tangga. Aku tersiksa saat itu, namun sudah kuhapus siksaan itu jauh-jauh dari hatiku. Itu semua karena aku mencintaimu.
(kembali kukecup wajahmu)
Lalu lahirlah bayi mungil itu. Bayi yang kauberi nama Wulandari. Wulandari yang manis itu lahir ketika bulan sedang bersolek dan bersinar penuh harapan. Wulandari harapan kita. Wulandari yang kupuja, Wulandari yang tak kau puja. Harapanmu seorang pria sejati keluar dari rahimku, sayang hanya seorang bayi ayu yang menangis kencang malam itu.

“Marni...apa yang kau katakan?!?”

Apa yang kukatakan. Aku mengatakan semua hal untuk membangkitkan ingatan. Ingatanmu akan aku, dan semua putri-putrimu. Iya...mereka semua berjenis kelamin perempuan, dan kau membencinya. Kau ingin anak laki-laki kan? Dari dulu kau ingin anak laki-laki. Karena itu kau membenci mereka. Membenci kelima gadis pujaanku. Ingatkah kau akan kebencian itu—satu demi satu???...jangan gelengkan kepalamu, jangan sanggah tuduhanku. Aku tahu kebenaran setiap fakta yang meluncur hari ini. Jadi mengapa harus mengelak. Mengapa kau membenci buah cinta kita? Mengapa???
Kau membencinya. Kau membenci anak-anak kita. Aku ingat betul pada malam kelahiran Setyorini—putri kedua kita. Kau bahkan enggan menatapnya. Romanmu berubah ketika ibu bidan menyerahkannya padamu. Lagi-lagi perempuan, bukan laki-laki seperti yang kau harapkan. Kau kecewa, kecewa akan kemampuanku beranak-pinak, kecewa akan pemberian bidadari-bidadari lucu itu. Kau bahkan kecewa karena mereka perempuan....kenapa sayang?. Padahal aku pun perempuan, tapi tapi kau memujaku. Ingatkah betapa kau memujaku, kau memujaku bagai cawan suci...cawan suci tempatmu menuang anggur perjamuan, anggur yang kaureguk habis tak bersisa. Lalu kenapa, kenapa kau membenci anak-anak kita???
Tapi semuanya belum usai, pertanyaanku masih akan sangat panjang. Bagaimana dengan Arumsari, bayi selanjutnya yang kulahirkan. Kau yang memintanya untuk ada. Tuhan mengabulkannya walau bukan dalam wujud pria. Aku pun berdoa, berdoa dengan cara yang kau ajarkan. Berlutut di bawah patung suci Bunda, memintanya untuk mengabulkan harapan suami tercinta...tapi tidak ada, tidak ada tangis bayi jantan dirumah kita. Ketiga anakku semuanya wanita.
Belum lelah mencoba, kau pun membuatku kembali mengisi perut. Tidak aku tidak lelah, walau jarak anak-anak kita hanya setahun. Walau aku harus membuncit tiap tahunnya dan menjerit kesakitan pada bulan ke-sembilan.
Kehamilanku yang keempat sedikit berbeda, mungkin karena sikapmu yang juga berbeda, atau karena tubuhku yang sudah jauh berbeda, ah sudahlah...yang penting saat itu begitu berbeda. Kau mengurangi rutinitas malam kita. Kau pun lebih sering mengeluh ini dan itu. Aku lebih sering mengharu biru...sampai Martini lahir. Iya...anak perempuan kita yang keempat, anak yang mati menahan beban karena tak tahan melihatmu begitu berambisi. Anak yang meninggal kelelahan karena aku tak sanggup membendung airmata, ia mati di usia dini—tujuh bulan.
Bagaimana sayang...ingatkah kau pada mereka sekarang?
Kenapa???...kenapa kau begitu tega, kau bahkan membiarkanku naik becak sendirian ketika harus kulahirkan Kesumah. Kenapa sayang???

“Marni...kau sudah gila”

(teriakanmu kuredam dengan ciuman sayang)

Aku tidak gila. Aku belum gila. Dan aku takkan gila.
Aku sangat waras. Sewaras ketika pertama kali kau lumat habis bibirku. Bibir yang kupakai untuk melafalkan ayat-ayat suci firman Tuhanku. Aku masih sadar. Sesadar ketika pertama kali kulihat kau melucuti pakaian Mirah. Iya aku tahu itu semua. Memangnya kenapa?. Kau heran kenapa sekian lama ini aku membisu. Tidakkah kau mengerti, aku ini hanya gadis desa tamatan SMP dengan empat anak yang harus diberi makan. Aku pula yang harus menanggung beban kebutuhan Bapak juga Ibuku. Kalau sampai kejadian yang terjadi antara kau dan Mirah sampai muncul ke permukaan, selain kau coreng mukaku, aku pun kehilangan satu-satunya sumber nafkah keluarga.
Aku belum mampu menghidupiku, menghidupi anak-anakku, menghidupi orangtuaku. Jadi aku diam seribu bahasa, meski aku tahu dengan jelas setiap bekas kerokan itu mengisyaratkan hubungan kalian yang terlarang
Jadi bagaimana, sayang? Ingatkah kau akan semua cerita ini. Cerita yang dengan sulit kurangkai dalam susunan kalimat tanpa terbata-bata. Luncuran kata-kata yang lugas keluar dari dalam dada. Ah aku lega...aku tak pernah bisa selancang ini padamu. Aku bungkam mulutku demi sebuah harga keutuhan keluarga.
Tapi sudahlah...aku malas untuk tetap mencinta dengan kepalsuan sempurna. Kau khianati aku dengan darah dagingku. Kau tolak jamahanku. Kau buat hatiku ngilu.
Dan sekarang aku hanya meminta kau mengingat. Mengingat setiap sentuhan, lenguhan, dan buaian yang kauberikan 20 tahun silam. Kembalikan semua milikku.
Ayo kembalikan memori tentangku.
Tentang paras ayu yang membuatmu memuja. Tentang rambut legam yang membuatmu terpana. Tentang wangi parfum murahan yang membuatmu terajam asmara. Tentang semuanya tentangku. Kembalikan padaku.
Jangan paksa aku berbuat keji padamu.
Ayolah sayang...cobalah, cobalah mengingat semua kenangan manis itu. Cobalah kembali berpaling padaku... coba terus meskipun kau harus kelelahan.

***

(Di luar sana terdengar teriakan dimana-dimana. Ada kebakaran mereka bilang, kau pun sama paniknya, sama takutnya, sama histerisnya melihat api yang tadinya hanya secercah dian. Tidakkah kau lihat wujud hatiku, sayang? Hampir mirip dengan api yang tersulut. Mulanya kau nyalakan redup, kini cahayanya justru membuatmu takut!)

“maafkan aku sayang, aku memintamu mengingat akan aku.”.
“Marni...kau bicara apa?aku suamimu...aku mencintaimu, sudah pasti aku mengingatmu”.

(Kupeluk tubuhmu yang sudah tak lagi kencang. Kubaui tengkukmu. Kusentuh jari-jemarimu yang mulai membiru. Ternyata aku masih sangat mencintaimu. Walau kau nodai ranjang pengatinku dengan darah perawan Mirah. Walau kau tolak aku ratusan kali untuk kembali mereguk nikmat. Walau kau tak lagi ada. Seperti ketenangan yang telah pergi begitu lama dari hidupku).

“aku merindukanmu.”.
“Marni...kita harus pergi”

(Seharusnya aku memang sudah pergi lama dari rumah ini. Bertindak egois dengan meninggalkanmu, anak-anak, juga ayah-ibu. Tapi tetap saja aku tak mau. Tak mau untuk meninggalkanmu. Tak mau untuk berhenti mengurus bidadari-bidadariku. Tak mau untuk menyakiti ayah-ibu. Aku tak mau...tak mau pula aku menyerahkanmu begitu saja pada adikku).

“apakah kamu benar-benar ingin pergi?”.
“kita memang harus pergi, lari bahkan?”

(Iya...kau benar. Aku seharusnya memang lari. Lari sejauh mungkin. Lari sekuat mungkin. Lari secepat mungkin. Semestinya dari dulu, dulu dulu sekali. Tapi aku bukan pelari yang tangguh, paling-paling baru sampai setengah pelarian, aku sudah tak tahan dan berputar arah kembali ke garis awal—mana bisa begitu!).

“sudahlah, kita dirumah saja. Kita tunggu Wulandari, Setyorini, Arumsari, juga Kesumah pulang study tur dari Borobudur”.
“Marrr...”

(kalimatmu terputus, seperti jalinan nadi kita yang juga terputus. Aku melayang lepas di udara sambil terus berusaha sekuat tenaga menggenggam jari-jemarimu yang terbujur kaku. Diluar sana kudengar orang-orang berteriak2, rumah kita memerah, api yang kusulut membara dan membungihanguskan bangunan laknat itu. Kini kau ingat kan sayang, betapa indah sekian kenangan kau pugar untukku. Kini kau kenang kan sayang, betapa menggembirakan sekian ratus cerita kurangkai untukmu. Kini kau percaya kan sayang, betapa aku mencintaimu sampai detik terakhir kita bernafas. Ini cintaku, ini hidupku, ini matiku!!!).
***

Lihat itu, sayang. Dibawah sana para tetangga bahu-membahu menggotong kita. Mirah menjerit-jerit seperti orang gila, bedebah kecil itu cukup tahu diri untuk teriak-teriak seperti pesakitan. Aku sudah tidak percaya lagi dengannya. Dan ini semua karenamu, aku kehilangan kasih sayangku karena sebegitu memujanya hatiku pada dirimu. Aku bahkan kehilangan kendali hidup saat kau bilang cintamu kini untuk adik bangsatku. Lebih baik kita melayang-layang tak tentu arah seperti ini. Lebih baik aku bawa kabur hatimu pergi jauh dari bumi. Lebih baik kita berdua bergenggaman erat sampai mati. Lebih baik begini.

Ingatkah kalimat pertama yang kau ajarkan padaku, sayang? (aku tersenyum). Aku yakin kau mengingatnya. Kata-kata dalam bahasa asing itu. Kata-kata yang membuat lidahku kelu. Kata yang kueja satu per satu dengan bantuanmu. Kau ingat???...duh senangnya, akhirnya kau mengangguk, anggukan tanda setuju yang 10 tahun mangkir dari hidupku.

kini
ejalah lagi
kini*

***

***totally inspired by “aku mengeja cinta, kau mengeja ragu”

*taken with permission (later) from Remy Soetansyah’s Poetry; “aku mengeja cinta, kau mengeja ragu”

grootegracht

Saya ingat sekali dulu pernah bertemu dengan dia. Dulu sekali, tapi entah kapan, tapi saya yakin bahwa saya memang pernah bertemu dengan sosok itu. Saya masih ingat detail tubuhnya, saya bahkan masih ingat harum tubuhnya. Dan kini ketika saya berpapasan dengannya dalam sebuah pertemuan tak sengaja, sayapun kembali melontarkan tatapan mata itu. Tatapan mata yang dulu sekali pernah membuatnya berdesir, terkulai, terlena, terajam panah asmara. Tatapan mata yang sebelumnya saya mintakan pada Eros untuk menghadiahkannya pada suatu petang di Kalibesar. Ya itu dulu...dulu sekali, tapi saya masih menyimpannya, menyimpannya untuk saat-saat seperti ini. Saat dimana saya kembali dipertemukan oleh nasib dengannya. Saat dimana saya kembali dibayang-bayangi oleh kecantikannnya. Saat ini...

***


Saat ini dia kembali hadir dalam hidup saya dengan sempurna. Dia berjalan dengan anggun, dengan pakaian kantor yang elegan, serta sepatu berhak tinggi yang membuat tungkai jenjangnya semakin terlihat menawan. Tubuhnya masih semampai. Matanya masih menyiratkan keinginan yang tertahan dengan malu-malu, dan aih aih bibirnya...bibir itu masih gempal dan menantang untuk segera dilumat. Serta jangan biarkan saya khilaf dengan tidak menyebutkan betapa ramping pinggangnya membuat saya berteriak kegirangan dalam hati.
Sudah sekian lama saya menunggu saat ini. Pertemuan yang kembali terulang di Kalibesar. Saat dimana saya akan kembali terobsesi. Saya hampir lupa sudah berapa lama. Entah dalam hitungan jari, entah ratusan hari, atau bahkan puluhan tahun, yang jelas saya setia menanti...

Saya setia menanti kedatangannya. Kedatangannya kembali ke dunia ini—dunia saya sendiri. Seperti separuh umat bumi yang menyakini kembalinya sang Putra Allah turun ke bumi. Maka saya ikrarkan jiwa untuk meyakini kedatangannya yang juga (pasti) kembali kedalam pusara hidup saya. Terkadang memang saya letih untuk berkeyakinan. Karena keyakinan memerlukan banyak sekali kepingan harap yang sulit sekali diproduksi. Tapi iming-iming hati akan kebahagiaan dan euphoria akan kedatangannya, membuat otak saya berhenti mengeluh. Meski seringpula hati saya mangkel dengan penantian tak berujung pangkal ini. Tokh hati adalah organ tersabar yang saya miliki. Saya pun kembali mencintainya. Cinta yang sudah ratusan kali jatuh di hati saya yang sabar ini. Cinta untuknya...

Cinta untuknya saya berikan pertama kali di pertemuan kami yang pertama. Saya ingat jelas saat itu. Dia berjalan dengan lemah gemulai dalam balutan pakaian yang aduhai membuat hati tuan segera bertanya-tanya siapa nama gerangan. Senyumnya malu-malu, bibirnya yang tebal dipulas gincu merah, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dia berjalan keluar dari toko obat dengan sedikit berjalan cepat, mungkin sesuatu membuatnya harus buru-buru sampai dirumah, mungkin juga salah satu anggota keluarganya membutuhkan ramuan obat yang ia beli barusan. Tidaklah penting perihal kepentingan nona manis itu, yang penting detik pertama saya melihatnya, detik itu pula saya berikan hati saya sepenuhnya pada nona tak bernama...

Nona tak bernama itu ternyata memiliki nama yang indah... Giok Hwan namanya, anak kedua dari babah penjual tembakau di daerah Glodok. Cerita lengkap mengenai Giok Hwan saya dapatkan dari kacung toko obat cina yang tempo hari ia kunjungi. Kacung itu bilang, Giok Hwan rutin 2 minggu sekali datang ke toko majikannya untuk menebus obat, obat yang dipakai Mami-nya untuk bertahan hidup. Kasihan nona manis itu, masih muda sudah harus menghadapi terik siang demi ibunya yang tak kalah menderita, andai saya dapat membantunya mengantar obat itu ke Glodok... saya rela sekali, selain saya dapat bertemu dengan pujaan hati, saya pun dapat mengurangi beban hidup kekasih tercinta.

Kekasih tercinta yang akhirnya jatuh ke pelukan. Betapa girang hati dibuatnya, tak percuma saya lantunkan do’a diam-diam, berharap Dewi Asmara segera menitah sang putra untuk segera menancapkan panah cinta tepat di dadanya. Di dadanya yang menyembulkan buah ajaib kesayangan Tuhan. Setelah ratusan kali saya layangkan jurus pandangan mata, pada suatu malam nona Giok Hwan menyatakan kesediaanya untuk bersanding bersama. Kebahagiaan saya tak terlukiskan, saya ajak Giok Hwan menikmati kota naik becak, saya manjakan dia dengan es Italia Ragusa bersaudara. Begitu bungah hati saya dibuatnya, melayang lepas ke udara bebas. Di tengah sengatan terik panas Jakarta pada Nopember 1964, saya mantapkan hati dalam sebuah keberuntungan. Keberuntungan yang terpatri kuat dalam ingatan akan kebahagiaan saya yang tidak bertahan lama...

Tidak bertahan lama seperti yang saya impikan sebelumnya. Sebelumnya sudah saya makhtubkan dalam hati untuk segera meminangnya menjadi pendamping. Usia saya sudah cukup mapan saat itu, lagipula usaha saya pun berkembang dengan pesat, tak ada alasan untuk menghalangi saya membangun mahligai rumah tangga bersama kekasih pujaan. Lagipula setiap kali melihat Giok Hwan, sisi kelaki-lakian saya mensyaratkan berahi tak tertahan, sementara di sisi lain saya ingin menjadi lelaki sejati yang mereguknya setelah ia berhasil saya peristri. Duh nona Giok Hwan, kenapa mereka tega memisahkan cinta kita yang tulus dan tak bercela ini. Saya tidak pernah tahu kenapa toko yang dibangun dinasti keluarga saya dengan jujur harus pula dibakar si jago merah. Mereka menyeret saya keluar dari toko, memukuli kepala saya, memukuli kepala orang-orang di sekeliling saya. Padahal saya tidak pernah berbuat jahat pada mereka yang memukuli saya, saya bahkan tidak membenci mereka, saya tidak mengenal mereka. Apa salah Papa dan Mama saya, atau bahkan apa salah saya sendiri. Kami hanya warga keturunan biasa seperti pula keluarga tionghoa yang lain. Saya bingung Giok Hwan, saya bingung kenapa semuanya terjadi begitu cepat, yang saya ingat hanya selebaran bergambar palu dan arit yang dibakar bersamaan dengan hangusnya toko kami. Sungguh hati saya tidak bermaksud mendustaimu, atau bahkan mengingkari janji suci kita. Saya masih akan selalu menanti nona, menantikan bunyi letusan petasan berkali-kali tanda kita melangkahkan kaki ke kehidupan baru...

Kehidupan baru yang akhirnya terpaksa saya jalani tanpa kamu. Setelah peristiwa nahas itu, saya hanya berharap seekor merpati dapat menyampaikan khabar kepergian saya dengan lembut. Supaya kamu tidak terlalu kalut menghadapi kehilangan saya. Maafkan saya Giok Hwan, bukan niat hati tuan meninggalkan nona sendirian dirundung duka. Jikalau tuan mampu, ingin tuan mengajak nona serta, sayang kini tuan berada jauh dari dunia.
Saya masih menyesali perbuatan saya. Saya menyesali kenapa tidak langsung meminangnya ketika ada kesempatan, kenapa harus terencana dan disusun matang. Namun saya percaya, akan ada kehidupan selanjutnya dimana saya dapat kembali bersua dengan nona pujaan hati. Nona saya yang mungkin nanti menjelma menjadi sesuatu yang tak mungkin. Tapi mungkin akan segera saya kenali sosoknya sebagai Giok Hwan...

***


Giok Hwan, itu dia Giok Hwan...saya tidak mungkin salah, dia adalah Giok Hwan yang sama dengan Giok Hwan yang dulu hendak saya pinang. Saya yang membantunya kembali hadir di alam fana. Akhirnya do’a saya terkabulkan sang Maha Kuasa. Giok Hwan lahir dengan sempurna, dia lahir seperti seharusnya, tidak ada satu pun cacat saya temukan. Kali ini saya tidak boleh terlambat lagi, namun tidak mungkin meminangnya saat ini, dia baru saja menjelma bayi manusia berusia 5 menit. Saya tetap harus menantinya, menantinya tumbuh besar menjadi manusia dewasa. Walau beda usia kami kini terpaut 25 tahun, dan saya sudah beranak dua, sudah saya bulatkan tekad untuk menikahinya kelak. Giok Hwan yang malang, takkan kubiarkan kamu kembali sendirian.

“bu bidan, anak saya sehat?”, tanya ibu Giok Hwan yang mukanya pucat.
“sehat”, jawab saya yang masih mengagumi kekasih saya itu.

Tak lama setelah jawaban saya ucapkan, perempuan yang mengantarkan kembali Giok Hwan ke pangkuan saya, menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya tahu ini pertanda jodoh bagi kami. Perempuan itu datang sendirian ke rumah saya, kandungannya yang besar sudah membuat ketubannya pecah, dia sudah pembukaan 3 waktu itu. Saya tanpa basa-basi menolongnya. Saya mengenal perempuan itu sebagai buruh cuci yang tinggal berhimpit di kampung belakang. Suaminya baru saja meninggal akibat tabrak lari, sedang anak-anaknya yang lain...entahlah, mungkin sudah dititipkan ke sanak famili mereka. Yang jelas dan saya tahu pasti, kini Giok Hwan tidak akan jauh-jauh dari saya lagi. (Seharusnya) dia tetap disini...

(Seharusnya) dia tetap disini. Tapi tidak...Giok Hwan, kamu sepertinya masih marah karena kepergian saya dulu. Dia kini pergi mendahului saya, saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Apakah kemarahanmu yang teramat sangat dibawa ke kehidupannya yang baru, ataukah karena gizi yang kurang diberikan si buruh cuci itu semasa hamil. Apapun alasannya, kini Giok Hwan yang cantik harus diambil Tuhan pada usianya yang baru saja 5 bulan. Saya kembali menyesali keterlambatan saya. Seharusnya saya nikahi saja dia ketika pertama kali mendengar jerit tangisnya, tak perlu berlama-lama menunggunya hingga tumbuh menjadi pemuda matang.
Duh Giok Hwan...kenapa, kenapakah sayang? kembali lagi nasib menanggalkan cinta kita di tengah jalan. Malang benar nasib ini dibuat Tuhan. Hendakkah kemalangan ini menjadi suatu kemujuran? Dan saya akan kembali berjumpa dengan nona pujaan hati saya...

Nona pujaan hati saya kini bersemayam dalam tubuh rupawan bernama Gertrude. Ia tinggal di rumah besar berpagar emas. Giok Hwan... tahukah kamu bahwa kecantikanmu yang abadi membawa saya pada petualangan cinta tak berdimensi. Begitu dalam rasa cinta yang saya miliki hingga tak hiraukan nasihat empunya waktu. Sepertinya kamu tak merasa serupa . Kamu hanya memandang saya dari kejauhan untuk kemudian melengos—menjauh sejauh mungkin. Tapi saya tetap berbahagia nona, paling tidak Yang Kuasa memberikan kenikmatan dunia dengan pertemuan kembali ini. Giok Hwan yang manis... sekarang walaupun amarahmu tak juga kunjung reda, saya harap kamu masih mengenali cinta tulus suci milik hati nan sabar ini. Ah nona...maafkanlah keterbatasan tuan. Saya sungguh bodoh hingga belum juga mampu kembali mempersuntingmu. Apalah saya ini, sedang kau hidup dalam gelimang kemewahan, saya terpaksa hidup dari belas kasihan manusia-manusia sekitar. Kalaulah nona sudi berhenti ngambek dan bersanding dengan saya, majikan nona belum tentu mengijinkan anjing betina Pomeranian-nya (begitu saya dengar manusia-manusia itu menyebut jenismu) kawin dengan asu buduk penuh kudis macam saya. Maafkanlah saya nona, maafkan karena berbagai Kamma yang saya tumpuk masih melahirkan Dukha dalam semesta kita yang tak terpetakan.


***


Saya ingat sekali dulu pernah bertemu dengan dia. Dulu sekali, tapi entah kapan, tapi saya yakin bahwa saya memang pernah bertemu dengan sosok itu. Saya masih ingat detail tubuhnya, saya bahkan masih ingat harum tubuhnya. Dan kini ketika saya kembali berpapasan dengannya dalam sebuah pertemuan tak sengaja, sayapun kembali melontarkan tatapan mata itu. Tatapan mata yang dulu sekali pernah membuatnya berdesir, terkulai, terlena, terajam panah asmara. Tatapan mata yang sebelumnya saya mintakan pada Eros untuk menghadiahkannya pada suatu petang di Kalibesar. Ya itu dulu...dulu sekali, tapi saya masih menyimpannya, menyimpannya untuk saat-saat seperti ini. Saat dimana saya kembali dipertemukan oleh nasib dengannya. Saat dimana saya kembali dibayang-bayangi oleh kecantikannnya. Saat ini...
Saat ini saya mantapkan hati untuk segera memintamu menjadi istri, ibu dari anak-anak saya kelak. Kamulah Giok Hwan yang ratusan tahun sudah saya nanti, dalam ribuan kali kehidupan saya mencintai sosokmu yang kelewat sempurna. Kini Giok Hwan...kini sudikah kamu saya peristri, untuk memenuhi janji yang belum sempat-sempat saya tepati. Saya tidak ingin terlambat Giok Hwan, saya tidak ingin memenuhi kewajiban untuk kembali menanti. Nona... bersediakah kamu menikah dan menjadi pasangan hidup saya yang abadi, bersediakah?!?

“heh mampus lu, dasar kecoak busuk!”.
“udah mati belom?”.
“udah, aku injek pake high heels”.

Ah Giok Hwan, nampaknya kamu memang masih marah...


*19’08’08
aroma deja-vu kota tua dan tegangan skripsi

Friday, May 25, 2007

KOTAK KOSONG WARNA JINGGA

Orang bilang...Cinta seperti permen lolly yang manis kali pertama masuk mulut...rasa itu lama, lama sekali bahkan,tapi bekasnya...yah gigimu rapuh bolong-bolong, sekalipun ada sebuah lagu kebangsaan orang-orang sakit hati yang bilang lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Kurasa lebih baik tak kuderita keduanya.

Tapi pilihan hidup tak selamanya indah...says who???aku selalu percaya kebahagiaan juga pilihan, entah mengapa—mungkinkah karena aku lahir sebagai malaikat di tengah manusia, atau karena hidup yang menuntut untuk selalu sempurna. However it takes if we believe in ourselves...were believe in happiness, and i believe in my heart or people who have it.

Orang bilang...Cinta seperti, sebenarnya apa peduliku dengan orang dan pendapat mereka, tapi perempuan disebelahku ini memaksa untuk mengetahui arti cinta keluar dari mulutku. Dan ehm cinta seperti aliran air, beberapa orang terhanyut nyaman dalam alirannya yang syahdu serupa lantunan do’a, dan beberapa yang lain mengutuk segan karena alirannya kelewat deras—menghayutkan sisa jiwa yang mereka pertaruhkan.

Kalau begitu ini semua seputar pilihan...says who???ini semua ketentuan alam, sekalipun kita berhak memilih, alam tetap penguasa semesta. Cinta buatku elemen dari nafas semesta alam, yang ritme hembus-tariknya tetap harus diatur...kita hanya partikel-partikel dengan izin coblos sekecil serpihan debu.

Orang bilang...Cinta seperti kehidupan. Yang lahir atas ketulusan dan rasa percaya akan sesuatu yang lebih baik.

Tak semua cinta datang dengan tulus...says who???tidakkah kau lihat cinta dengan ragam yang dimilikinya, aku bukan cuma bilang tentang cinta yang datang dari 2 makhluk lain jenis, banyak bentuk, banyak lakon—tak pernah sama untuk kata cinta...

L is for the way you look at me

O is for the only one i see

V is very very extraordinary

E is even more than anyone that you adore*

+ + +

KRISTALL terpaku menatap wajah wanita di hadapannya, begitu cantik tak tercela. Siang ini hari begitu panas, cuaca tak pernah berkompromi dengan kegiatan yang dilakukan manusia. Dan bayangan kesejukan rumahnya akhirnya tinggal mimpi di siang bolong.

“maaf tante cari siapa?”, tanyanya dengan nada halus, nada yang familiar dengan yang diajarkan bunda.

“ini benar rumah Bima?, jawab wanita itu—sebenarnya lebih tepat dikatakan balik bertanya.

“Bima...”,terdiam sesaat...bertanya-tanya adakah yang bernama Bima di sekitar rumahnya.

“Sebastian Pandji Bimantara”, jelas wanita itu kembali

“oh...ya Bima...itu nama ayah, ya ya ya itu nama ayah saya...sudah lama tidak ada yang panggil ayah Bima, saya jadi...ehm silahkan masuk tante....”

Wanita itu menerawang ke seluruh ruangan, seolah mencari celah-celah kesalahan atau mungkin sebenarnya sedikit pembenaran untuk dibawa pulang sebagai cerita tentang kunjungan siang hari yang kering tawa.

“siapa nama kamu?”, wanita itu membuyarkan pikiran Kristall.

“Kristall, oh iya maaf saya lupa bertanya tante ini siapa...”

“cuma Kristall?”.

“ya...ehm maksudnya?”

“nama kamu cuma Kristall?”

“oh tidak, saya punya nama lengkap tapi untuk apa?”.

“nama yang dingin...”

“oh ya...bunda yang kasih saya nama itu, buat saya itu indah, seindah bunda..”

Wanita itu tertegun mendengar jawabannya, jawaban yang selalu Kristall berikan kepada setiap orang yang pandang betapa dingin namanya.

Ia tahu bukan hanya wanita itu yang merasa namanya terlalu kaku dan minim cinta, tapi apa pedulinya kalau itu sudah melekat kelewat lama di hidupnya.

“Gayatri...”

pardon?!?”

“orang yang kamu sebut Bunda itu...Gayatri kan?!?”

“orang yang saya sebut Bunda itu ibu kandung saya, yang melahirkan saya, orang yang membagi gen-nya kedalam tubuh saya, dan ia memang bernama Gayatri, sebenarnya tante ini siapa?”, ujarnya jengkel—terkadang dalam sepersekian detik hidup Kristall, ia selalu bertanya mengapa tak pernah menang adu kelembutan dengan Bunda-nya, emosinya terlalu mudah terpancing untuk urusan ini.

“bilang saja kalau Bima datang...tadi Kalya datang berkunjung”, ujar wanita itu sambil berjalan keluar pintu, menghilang bersama deru mobil yang dikendarainya.

Orang aneh pikirnya, walau tak pernah ia lihat rupa sesempurna itu sebelumnya, hidung bangir dan kulit seputih kapas itu setahunya cuma ada di dongeng Putri Salju, belum lagi rambutnya yang hitam legam. Tapi tetap saja tak seindah bunda—ia selalu menganggap ibunya malaikat yang lebih indah dari rupa manusia manapun.

KENANGAN itu bangkit lagi akhirnya, tepat disaat ia menginjakan kaki di kota ini—sekali lagi, ia membencinya, telah ia perjanjikan dengan yang Kuasa untuk tidak mengusiknya, tapi gadis itu belahan jiwa yang lama tertinggal, oleh kebodohan individualis yang melekat kuat di jiwanya...Kalya menatap lekat sobekan kertas yang baru kemarin diberikan Suga, rekan sekerjanya dulu, dulu sekali...waktu ia masih sesegar apel yang baru dipetik dari pohon. Kini semuanya sudah berubah, 21 tahun waktu yang cukup lama untuk lari dari tanggung jawab besarnya sebagai perempuan, tapi layakah ia menyebut dirinya perempuan, sedang melihat benih yang ditanamnya tumbuh pun ia enggan.

...Terik matahari di kota ini tak pernah bisa sedikit memberi sejuk untuk datang, aku berjalan lunglai ke arah perpustakaan yang letaknya di seberang gedung fakultas. Siang ini benar-benar parah, tugas yang menumpuk, pekerjaan sehari-hari yang sudah menanti riang, baju-baju kotor yang menunggu-nunggu giliran untuk dicuci bersih.Belum lagi...ya Tuhan mohonkan percepat hari ini 1 jam dari biasanya...setidaknya...bruuuuk...oh tidak, lagi-lagi, kenapa kebiasaan buruk berpikir atau apa lebih tepatnya memikirkan sesuatu tanpa otak, yah pokoknya itu lah...selalu merugikan kegiatan siang hari yang parah ini. Orang yang kutabrak dan membuat buku-buku keparat ini berjatuhan cuma menatap lekat lalu menunduk lagi.

“aduh sorry ya, gak keliatan...”

“gak apa-apa, lain kali bawa spion ya kalau mau jalan”.

“hah...eh yayaya”,balasku dengan terus tersenyum—aneh.

“Bima...”,ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“eh...”

“nama aku Bima, kamu siapa?”.

“saya ehm Kalya...”

Kalya selalu mengingatnya, saat dimana ia bertemu dengan Bima yang tak pernah disangka merubah hidupnya. Pria bertubuh tegap yang selalu berjalan tertunduk itu, pantaskah disebut dengan nama salah satu Pandawa yang maskulinitasnya tinggi. Ia selalu menganggap Bima lebih identik dengan Yudhistira yang plin-plan, tak pantas seorang pria yang berat berkata tidak jadi seorang Bima.

Tak pernah dipungkiri ia selalu rindu dengan suasana dulu—berbagi dengan Bima yang tak pernah dikenalnya utuh.

LELAH menjalar di seluruh urat syarafnya, sudah pukul lima lewat limabelas waktu akhirnya Pandji duduk dengan santai di sofa panjang rumahnya. Belum ada siapapun yang meladeninya hari ini. Gayatri istrinya kebetulan sedang sibuk “nyekar” ke makam leluhurnya di Imogiri, sedang Kristall putri pertamanya mungkin sedang asyik baca buku sambil mendengar musik di taman dekat rumahnya. Kristall tak pernah diijinkan mendengarkan musik di dalam rumah. Gayatri membencinya—ia tak kuasa membantahnya. Kebencian Gayatri akan musik mungkin terdengar tak logis namun untuk seorang perempuan dengan hati sekeras baja pun, ia cuma manusia biasa yang bisa nyeri.

Hampir 15 tahun rumah ini menjadi pelepas lelahnya, dengan jerih payah yang ia satukan bersama Gayatri, semuanya terbayar dengan rumah ini. Gayatri perempuan tangguh di hidupnya, tak pernah sekalipun ia mengeluh atau sekedar ingin jadi istri orang lain dalam sehari...begitu bangga ia menjadi Nyonya Pandji, menjadi Ibu dari anaknya. Gayatri yang tak akan mampu ia tampik.

“yah...tadi ada cewek cantik loh kesini”, ucapan Kristall membuka kembali kesadarannya yang sempat hilang sesaat.

“oh ya...wah kenapa ayah pulangnya terlambat ya, lumayan kan gak ada Bunda”, sahut Pandji dengan leluconnya seperti biasa.

“ih ayah, aku serius nih, dia nyariin ayah...”

“ada cewek cantik nyariin ayah, anugerah apa musibah tuh nak?”.

“anugerah kalau ngasih duit tapi musibah kalau mau nagih utang...”, anak ini punya selera humor macam ibu...kandungnya

“ah tapi perasaan ayah gak ada urusan apa-apa gitu nak”.

“dia bilang...bilang saja kalau Bima datang, tadi Kalya datang berkunjung...”,ujar Kristall sambil meniru ucapan wanita aneh yang siang tadi datang kerumahnya.

Pandji menatap lekat bola mata putri tunggalnya, berharap ia temukan secercah kebohongan di retina Kristall, tapi tidak mungkinkah ada yang memberitahu Kristall—mana mungkin.

Mana mungkin—ia datang kembali.

Ini hampir 21 tahun sejak kepergiannya.

Sejak keputusan hebatnya untuk memberi kebebasan.

Band ini benar-benar menguras isi otakku sampai habis, kenapa pula manajer dungu itu pakai acara cinta lokasi dengan Dinnah—lead vokal kami, tidakkah ia tahu kalau perempuan itu punya bisa sehebat Medusa.Suaranya memang indah, dan siapapun yang mendengar pasti terbuai, sayang indahnya tertutup dengan kelakuannya yang mengesalkan, minggu lalu ia minta kenaikan upah yang cuma pantas untuk penyanyi sekelas January Christie. Dan kini kami yang harus pontang-panting cari pengganti, kalau tidak siapa yang mau bernyanyi, tak mungkin para tamu kuhibur dengan instrumen saja. Untungnya Suga bilang sudah dapat yang baru... perempuan, penampilan menarik, suaranya seksi, dan...

Dan disanalah akhirnya ia datang sambil melempar senyum nakal yang selalu kulihat setiap saat ia berhasil menjatuhkan barang bawaannya tepat di depanku. Ia yang datang dengan rok cokelat dan kemeja putih yang menyempurnakan keanggunannya, dan jangan sampai harus kusebut keindahan rambutnya yang ikal—Kalyana Maitri Paramitta.

“ayyyaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh.....”.

“ayah ini udah malem, bangun dong.....”.

Kristall...ya itu suara Kristall yang memanggilku dari jauh...itu pasti dia.

“jam berapa ini nak?”, tanyaku setelah setengah tersadar dari mimpi singkat tentang Kalya.

“jam 7 sih...ayah jaga rumah ya, aku mau ke gereja”, jawabnya kemudian. Kristall yang akan berusia 21 tahun sebentar lagi, ia sudah besar dan matang...walau belum sematang ibunya yang pergi dulu.

“ehm yah Kalya tuh siapa sih? Temen Bunda ya yah?”, lanjutnya lagi.

“Kalya...ya temen ayah juga temen bunda juga”.

“kok orangnya aneh sih yah tapi cantik? Aku kok gak pernah liat dia sebelumnya?”.

“oh...yah mungkin karena lama tinggal di luar negeri”.

really...awesome!”...

KALYA tidak pernah merasa sebersalah ini hingga ia melihat betapa Kristall mewarisi kulitnya, matanya, bibirnya, bahkan tulang rahang yang nyaris serupa. Anak itu hampir berusia 21 tahun sekarang. Sebenarnya tak ingin ia usik ketenangan keluarga mereka, tapi salahkah jika ia ingin mencurahkan sesuatu yang tertunda selama 21 tahun lamanya. Ia pergi tanpa memandang Kristall, bahkan tanpa meninggalkan bayi mungil itu nama untuk dipanggil.

Dua bulan lalu ia berhasil mengumpulkan potongan-potongan tentang keberadaan Bima, Kristall dan Gayatri tentunya. Suga banyak membantunya mengumpulkan serpihan-serpihan abu masa lalu itu. Awal tahun lalu ketika ia mampir ke Yogyakarta untuk urusan pekerjaan, ia bertemu dengan Suga...satu-satunya sumber informasi yang belum ia korek keterangannya. Darinya ia tahu kalau Bima sekarang pindah ke kotamadya dekat kotanya dulu, anaknya dibawa serta, tak pernah sekalipun ia buat anak semata wayangnya itu menderita, pun Gayatri mencintai dan merawatnya sangat baik. Benak Kalya bertanya akan kebenaran cinta Gayatri—mungkinkah anak itu tidak meninggalkan bekas genital yang diwarisinya. Mungkinkah Gayatri tidak membayar sakit hatinya pada satu-satunya darah daging yang tak kuasa ia bunuh.

Aku menatap wajahnya lekat-lekat, ketampanan yang kelewat menyilaukan di mataku, pria ini mungkin terlihat sangat membumi tapi bagiku ia ibarat Icarus yang sengaja datang untuk menyapa. Buatku pada awalnya semua kedekatan yang ter jalin sebatas kasih antara dua manusia yang kehilangan sosok ayah terlalu cepat...tak pernah kuduga sebelumnya kalau rasa sakit bisa menimbulkan gejolak hasrat yang dashyat...

Bima begitu passionatte...tertawan aku dalam diam yang selalu ia tunjukan, hamparan kering yang sengaja ia suguhkan, membuat sepersekian detik pikiranku memaksa hati untuk menghiba sentuhan lembut, tatapan itu—penjara tak kasat mata.

“buat kamu...cinta itu apa?”,tanyaku.

“cinta, dalam rangka apa?”.

“jawab aja...”

“cinta itu seperti berjalan dia atas air...”

Aku tersenyum, senyum yang sama dengan yang kuberikan setelah ciuman pertama kami.

Sayang ia bukan milikku, bisakah kumiliki dia, sebentar pun tak apa ya Allah, hanya untuk menjamahnya, hanya untuk meneguk anggur dari manis bibirnya...Walau beberapa detik kemudian kau buatku sadar kalau atas namamu manusia kini saling berpalingan.

+ + +

GAYATRI membiarkan badannya rebah barang sejenak di ranjang besi tempat ia biasa mendengar cerita-cerita yang ti tentang segala macam dedemit, peri, atau bahkan hewan yang pandai bahasa manusia—si kancil yang nakal misalnya. Hampir 30 tahun yang ti seda, selama itu pula waktu menoreh masa lalu yang panjang untuk hidupnya yang dituntut sempurna. Waktu itu ia cuma anak manis berusia 12 tahun, hampir dewasa karena sudah mau masuk SMP, ia selalu menikmati perjalanan ke Imogiri, karena itu satu-satunya tempat dimana ibu dan bapaknya berkumpul memanjakan ia, Tantri dan Bondan—adik-adiknya. Dan kini usia 45 tahun sudah ia rasakan, betapa segala ujian ia lewatkan dengan tabah tanpa berani membantah.

Aku tak pernah memohon kebaikan Gusti Allah sampai sebegini memaksa, nyawa ibu dan bapakku ada di tanganmu ya Bapa..aku masih membutuhkan mereka, pun adikku, tidakkah kau lihat betapa keluarga kami saling bergantungan, kesatuan utuh yang saling membutuhkan, minggu lalu kecelakaan itu terjadi, kecelakaan yang membuat kedua manusia yang kautakdirkan menjadi penciptaku harus terbaring sekarat dirumah sakit, mengapa harus mereka ya Bapa...tak sanggupkah kau renggut aku sebagai gantinya, tak cukupkah deraan yang kami terima paska kepergiaan Bondan.

Kuatkan hati kami Bapa, berikan kami secercah cinta kasihmu...selamatkan nyawa kedua orangtuaku.

Airmata mengalir lambat di pipinya, tak kuasa ia mengingat setiap kata-kata yang keluar dengan tulus dihadapan Kristus yang selalu ia anggap kudus. Walau ternyata Tuhan menakdirkan kedua orangtuanya untuk pergi, meninggalkan ia dan Tantri berdua.

Kala itu usianya sudah 23 tahun, sudah mengenal Pandji yang merupakan cinta pertama di hidupnya. Pandji yang berbeda dari jenis pria yang selama ini ia kenal, Pandji yang melunturkan semua ketakutannya akan cinta, Pandji yang membuatnya lebih agung dari manusia manapun. Buatnya segala sisa-sisa cinta yang masih ia miliki adalah harta yang harus ia jaga sampai mati.

Pertemuannya dengan Pandji begitu indah untuk terus dikenang, Pandji yang punya segudang makna untuk digali, ia yang berusaha keras mendekati dirinya yang kelewat sulit membuka hati, yang akhirnya berhasil mengetuk pintu itu hingga terbuka.

Hingga semuanya terbuka...hingga meresapi makna memiliki dan dimiliki...hingga seseorang yang datang dengan pesona yang belum pernah ada, bukan karena ia hebat, tapi karena ia lahir sebagai jalang...Pandji ternyata cuma pria biasa, manusia biasa yang jatuh hati dengan malaikat dan iblis yang menyimpan benihnya.

Gayatri selalu mengenang kenangan-kenangan itu satu persatu, tentang kedua kakek-neneknya, orangtuanya yang terlalu cepat pergi, adik yang menjadi tanggungannya, lik Rah, Pandji—malaikat hatinya, penguasa seluruh hidupnya, Kristall...yah bayi mungil itu, ah tidak kini ia sudah menjadi gadis, sudah dewasa bahkan, rupanya, cara bicaranya, seleranya yang kelewatan terhadap musik, dan kegemarannya membaca, yang begitu...pada akhirnya harus Gayatri akui, menuntunnya pada kenangan akan Kalya.

+ + +

TERKADANG Kristall berpikir mengapa bunda begitu ngotot melarangnya bermusik, padahal Kristall begitu bergantung pada musik, sebagian jiwanya seperti telah dipersekutukan oleh musik, entah iblis macam apa yang rela menorehkan kecintaan yang terlarang bahkan dibenci oleh malaikat jiwanya—bunda yang tak mampu ditandingi siapapun. Bahkan ayah tak mampu meredam kebenciaan bunda akan musik, suatu kali pernah ia melihat bunda bertengkar dengan ayah karena masalah larangan ini, hebat sekali hingga ia melihat sisi lain dari malaikat yang selama ini menjaganya. Tak habis-habis bunda menuding ayah dan menyebut kata “ia”, entah ditujukan untuk siapa atau maksud apa, yang Kristall ingat setelah itu hanyalah bunda pergi tanpa pamit dengannya, tanpa meninggalkan sedikit pesan untuknya... Sesekali dalam hidupnya bunda memang terlihat seperti manusia biasa—bukan sesuatu yang agung, namun kebiasaannya lah yang membuat Kristall terkagum, mengucap syukur pada Tuhan atas berkah yang berwujud Bunda di hidupnya.

Dering telepon membangunkan alam sadarnya yang sempat menerawang beberapa saat mengenang bunda yang sudah 2 minggu pergi, padahal hari ini ulangtahunnya yang ke 21 tahun, dan hanya rupa suci Bunda Maria yang tersenyum syahdu memandangnya dari bingkai kayu.

“hallo...”

“can i talk with Bima, please”.

‘who is it?”

“its Kalya...”

perempuan itu lagi, sudah 1 minggu berlalu semenjak kedatangannya yang cukup ganjil kehidupnya, entah mengapa Kristall menganggap perempuan ini bukan tanpa maksud terpendam datang ke rumah keluarganya.

“ayah sedang keluar tante, ada pesan?”...

“saya bicara dengan siapa sekarang?”.

“ini Kristall...”

“Kristall...can we meet?”.

Dia memang aneh, tapi sebagian keanehan yang dia miliki justru menuntun Kristall ke arah cahaya yang selama ini ia rindukan.

of course...where?”.

“saya jemput kamu jam 4 sore ini,deal?”.

with my pleasure...”

Ini ulangtahunnya dan satu-satunya manusia yang ia temui di tahun baru-nya justru orang asing yang aneh—tapi kenapa ini seperti dinantikan, inikah yang Kau namakan takdir ya Bapa—bathinnya, lalu ia tersenyum kepada Maria yang masih setia memandang lewat gambar dirinya yang tergantung di ruang keluarga.

“ok tell me why you always said that word”.

“which word?”.

“andai...”

Bima cuma tersenyum sambil menatapku lekat, seakan dia ingin merengkuhku kembali dan membenamkan kami dalam ritual cinta yang tak habis hingga hari ini terang dan menyapa kami untuk sadar.

“andai...”

“tuh kan gak jawab, ayo dong jawab...”

Aku tetap memaksanya menjawab, ia selalu mengucap kalimat itu selain kata maaf yang selalu keluar dari bibirnya yang menggemaskan...Ah anggap aku jalang, atau liar, tapi ia memang membuat perangkap hasrat ini untukku.

“andai adalah sisa misteri kekuatan hidup dari dunia yang hampir punah”.

Aku menatapnya selekat tatapannya, menyalurkan segala pesona yang kumiliki untuk memikatnya, menjatuhkan ia dalam perangkap yang tak pernah membuatnya terjerat.

“andai...yang akan menghapus dosa umat manusia”.

“andai...”.

“sekarang kamu mulai suka dengan kata itu kan?”.

Yah aku mulai menyukainya, kata itu membawa mimpiku terbang tinggi, membuat mimpi lari sejauh-jauhnya dari kejaran nyata yang selalu menang sendiri.

Aku merebahkan diriku diatasnya, telanjang—tanpa sehelai benang. Membiarkanya bermain di tengah dua buah kenikmatan dosa, ia menikmatinya, tanpa pernah berpikir kalau kenikmatan itu membuatnya berandai semakin jauh, aku merajainya, seperti kekuatan Btari Kali yang selalu ingin berdiri diatas semua lawan jenisnya di muka bumi.

KINI dihadapnya sudah duduk perempuan yang berasal dari buah dosa yang ia paksa Bima untuk memetiknya. Kalya tahu ini hari ulangtahun putri tunggalnya, tak kuasa ia pulang ke Belanda sebelum melihat anak ini tumbuh sedewasa dirinya dulu.

“happy birthdays...”

“oh how...thanks anyway but...how come?”.

“i just know it”.

Kristall perempuan yang pandai, mereka mengajarinya dengan baik, bahkan ia beragama dan tidak membenci pencipta-Nya.

“ayah bilang...tante tinggal diluar negeri, dimana tan?”.

“Nederland, hidup disana menyenangkan”.

“kan kotor disana tan? too much sinner...”

“well...im the part of that”.

Kristall bahkan dikreasikan untuk tidak sepertinya oleh Gayatri, pandangannya akan hidup sebagai perempuan yang menjadi makhluk dengan dosa asal yang melekat, sengaja untuk menghina keberadaannya yang selalu Gayatri anggap himpunan dosa manusia.

“tante aneh...apa tante juga benci musik seperti bunda?”.

“oh i loved music, you dont?!?”.

“aku suka tapi bunda enggak, ia selalu jadi orang asing kalo udah marah masalah kesukaanku yang satu ini...aku cuma boleh nyanyi di gereja dan dengerin musik cuma halal disana, diluar itu semua bunda anggap itu nista, lucu ya tan, padahal ayahku kan jago main piano dan dulunya pemain band...”.

For God sake Gayatri...sampai sejauh itukah ia mencoba menjauhkannya dari jangkauanku—bathinnya, ia tahu bahwa Gayatri tidak pernah tertarik akan musik seperti ia juga Bima, juga pengkambinghitaman Gayatri akan musik yang dengan biadabnya menjodohkan mereka yang terlarang untuk bersama.

Tapi untuk melarang buah hatinya bermusik, itu sama saja membunuh sisa-sisa kenangan akannya dalam tubuh Kristall.

Aku memandangnya berulang kali mungkin hanya sesekali berkedip, dalam senyap tidurnya, diselimuti kain abu-abu yang hanya jadi penutup badannya yang telanjang. Kenikmatan ini selalu ada di benakku, tak pernah sekalipun kuberniat untuk mewujudkannya ke dalam nyata. Namun ia terlalu hebat menebar pesona.

Kaki-kaki telanjang yang mungil bermain dengan hasrat yang lama kupendam,lekuk-lekuk tubuhnya dan halus kulitnya yang seputih susu menghanyutkanku dalam aliran kemauan tertahan.

Aku menginginkannya sangat—tapi kami bukan sejoli yang dicipta untuk bersama. Tuhan takkan rela merestui kami, iblis yang akan bahagia melihat kami satu.

Lekuk itu kembali menawanku, ketika Kalya membalikan tubuhnya dan membiarkan sedikit bagian tubuhnya terlihat dari sela-sela kain, membiarkanku melanglangbuana dalam khayal yang mendominasi kemasuk akalanku malam ini, oh dia menggoda, walau tanpa maksud buatku tergoda...kenapa tak ia buka seluruhnya, kenapa ia biarkan aku mengintipnya diam-diam.

Dagu itu...cuping telinga kiri yang mencoba memaksaku untuk berbisik lirih...dan...

Aku menciumnya perlahan dan lembut, ia tetap terpejam walau merasa, tak pernah ia membalas ciumanku di pagi hari, ia biarkan aku mengontrol ritme cumbuan ini sesuka hati..membiarkan jari-jari ini menjamah seluruh tubuhnya, merelakan aku untuk merasa kelembutan akan nafsu yang menyaru dalam kasih, membuatku kembali jatuh dalam lingga dan yoni yang bersatu...

ya Bapa inikah dosa yang hendak kau tebus dengan bilur-bilurmu...

PANDJI memandang mereka dari kejauhan, berkelebat sejenak bayangan akan Kalya 21 tahun silam, Kalya yang hampir membuatnya tersungkur dalam mimpi buruk, ah tidak ia belum sempat jadi mimpi buruk walau selalu memaksanya untuk terlibat dalam serentetan mimpi buruk di hidup Pandji. Hari ini tepat 21 tahun kepergian Kalya yang tanpa pesan, ia tahu dengan jelas selama 21 tahun pula kebahagiaan itu terenggut dari hidup mereka bertiga, tapi apa daya manusia jika taruhan dosa lah yang menghadang.

Sore tadi ia terima pesan singkat di telepon genggamnya, dari Kristall tentang hari spesialnya yang akan dirayakan dengan teman ayahnya yang ayu—tante Kalya ia sebut nama wanita itu, ia mengundangnya serta untuk makan malam di Kafe Morien. Biasanya mereka memang merayakan ulangtahun Kristall di kafe itu, Kristall menyukai tiramisu yang dijual disana, sedang ia dan Gayatri memang punya sejarah dengan tempat itu. Sayangnya hampir 3 tahun belakangan ini, Gayatri seperti melihat sosok Kalya dalam diri putrinya—begitu pekat kemiripan mereka, hingga buat hatinya miris setiap melihat Kristall tersenyum.

+ + +

IA menatap nanar foto keluarga yang tergantung indah di dashboard mobilnya, ini tahun ke 21 bagi putri orang yang paling dibencinya sekaligus pria yang dipujanya sangat, hampir 3 tahun ini ia menghidari dirinya untuk menjadi bagian dari perayaan, berbagai cara yang ia tempuh untuk menutupi semua kebenciannya pada Kalya, tapi sosok itu lagi-lagi selalu muncul setiap melihat Kristall tersenyum.

Awalnya semua berjalan begitu indah, bayi mungil yang ia renggut dengan kerelaan hati perempuan yang mengandungnya, mengobati luka hatinya sebagai perempuan yang tak mungkin menjadi ibu. Gayatri terlalu lemah untuk dapat merawat benih dalam kandungannya, anugerah Tuhan untuknya hanya pantas untuk jadi pajangan.

Sudah hampir pagi waktu akhirnya tangis bayi membuyarkan semua kemarahan yang ia pendam setahun belakangan. 4 Agustus 1985, pagi itu dingin terasa memusuhinya, matahari di timur seperti hendak minta bulan mengganti fungsinya, ia sendiri menggigil minta kekuatan. Pandji di dalam sana, memegang erat tangan Kalya yang merintih kesakitan, bahkan ditengah tangisnya yang menyayat, ia tetap berpikir perempuan itu iblis dalam jubah keanggunan, jijik ia melihat rupa wanita yang merenggut hal berharga dari hidupnya. Kebencian itu membuncah 4 bulan kemarin, tepat satu minggu setelah pemberkatan yang khusyuk di gereja tempat ia dan Pandji akhirnya bersatu.

Satu minggu ini begitu membahagiakan hatiku, sampai sesak dadaku dipenuhi sukacita, tak henti-hentinya pujian kulimpahkan atas kebaikan Tuhan untukku. Seperti berada di awang-awang waktu akhirnya mendapati Pandji selalu disampingku. Pria yang kuperjuangkan, mungkin satu-satunya hal berharga yang takkan rela tercuri orang lain dariku. Tak kubiarkan apapun memisahkan kami, aku sudah cukup mengerat perih untuk kepergian manusia-manusia tercinta di hidupku, dan Bima lah yang membuatku sadar akan pentingnya memperjuangkan sesuatu.

“ga bisa nduk...kenapa ga bilang dari kemaren, ini masalah gak kecil...”, suara Bima terdengar setengah berbisik tapi menahan sesuatu yang seharusnya keluar deras.

Aku mendengarnya dari kejauhan, dari sini tak jelas dengan siapa Bima bicara.

“Mas...aku harus pergi ke Belanda, dan aku gak bisa pergi dengan keadaan begini”.

Suara itu begitu familiar di kupingku, mengapa perempuan itu kembali lagi ke kehidupan kami—baru saja kain ini kurajut dengan benang cinta, dan ia pasti datang untuk merobeknya.

Kakiku berat melangkah ke arah mereka, aku hanya diam terpaku pada akhirnya, menatap dua sejoli yang terpisah atas nama Tuhan di hadapanku.

“nduk...jangan”.

“kamu egois ya...aku gak mungkin bawa ini semua ke negara orang, aku mau...”

Tapi entah darimana segala kekuatan itu datang, seperti digerakkan tenaga seribu kuda, aku mendekat kearah mereka...ternganga melihat perut Kalya yang membesar.

“kamu mau apa?”, tanyaku menahan hati yang hampir pecah.

Mereka pasti kaget melihat kedatangannku, sedari tadi aku memang pergi untuk menemani Tantri berjalan-jalan.

“Gayatri...”, suara wanita itu kembali menyelimuti kabut amarahku, tak rela bahkan kudengar ia memanggil namaku.

“kamu mau apa lagi Kalya?”.

“aborsi”, ujarnya lirih tanpa memandangku.

Bima cuma tertegun melihat keberaniannya, tak pernah kuduga bahwa perbuatan terkutuk mereka membuahkan benih dosa, dan dengan hebatnya perusak ini datang minta restu untuk membunuh...

Niat itu tak pernah terwujud, Gayatri tidak merelakan perbuatan keji itu dilakukan, bagaimana pun ia wanita yang menomor satukan hukum Tuhan, tak kuasa ia membangkang hal yang dikutuk oleh Causa Prima-Nya. Walau harus ia tanggung beban kebencian seumur hidupnya, ia tulus meminta jabang bayi itu sebagai hukuman kebejatan dua manusia yang memberinya kado terlaknat di hidupnya.

Bayi itu ia beri nama Kristall, dengan hati beku dan amarah yang ia peti es kan, diambilnya Kristall dari suster yang membersihkannya dari darah perempuan kotor yang menyimpannya 9 bulan, meninggalkan Kalya yang masih lemah dan tertidur karena lelahnya.

+ + +

MEREKA saling menatap, seperti sekian waktu dihabiskan untuk memendam rasa yang lama pergi—terkubur dalam naungan hati yang begitu pintar bersembunyi.

ia mencuri hatiku

berhari-hari kucari

aku yakin ia mencuri

KALYA menatap pria dihadapannya dengan segenap hati yang hilang hampir 21 tahun lamanya—pencuri hatinya yang ia biarkan bebas.

tidak cantik

tak kuasa kucuri hatimu yang merah muda

kadang ungu kalau tersentuh cemburu

aku menyimpannya rapat—bukan di hatiku tapi

aku tak berani

PRIA itu pun menatapnya tak kalah lekat, dipandanginya setiap detail yang terlewat selama 21 tahun, perkembangan perempuan yang membuat hidupnya tak lagi sama seperti ia yang dulu ada... Telah ia simpan rapat rasa itu dalam sudut hatinya yang tak mungkin ditemukan siapapun—sampai dengan hari ini.

maaf jelita

hatimu kusimpan hati-hati

dalam kotak kosong warna jingga...

kalau kau tak suka

akan kuberi kuncinya agar terbuka

Tak pernah ia lihat tatapan dialamatkan pada siapapun kecuali ia dan bundanya. Ayah terlampau dingin untuk seorang pria berhati hangat, tapi tatapannya yang tajam untuk perempuan yang duduk disebelahku...mungkinkah pernah terjadi sesuatu yang dalam dengan mereka, salahkah aku mengundangnya hadir dalam pesta sederhana tahun baruku, ya Bapa bagaiman perasaan bunda jika ia tahu—bathin Kristall kembali berkecamuk tanya. Tapi nyeri hati hampir 3 tahun karena tingkah bunda yang aneh menjelang ulang tahunnya menyeimbangkan kembali suasana hatinya. Berada diantara dua manusia berbeda ini mencipta gelora yang ia pun tak mengerti atas apa.

Tante Kalya yang baru dikenalnya satu minggu...perempuan yang kini sering tak sengaja mengantar bahkan menjemputnya berangkat kuliah.

Ayah...ia pria hebat, dengan sejuta cinta yang ia punya, kharisma yang terlihat jelas dalam sejuk senyumnya. Orang yang tak pernah lupa mengecup pipinya sebelum tidur, menatap wajahnya begitu dalam—menyimpan rindu yang kini tumpah di depan matanya.

Rasa sakit kembali menusuk hatinya, ayah kini menatap wajahnya dan mengucapkan selamat ulang tahun beserta harapan-harapan yang ia tanam untuk putri yang selalu ia banggakan. Ritual ini selalu dibencinya 3 tahun belakangan, ia membencinya sangat, ia mengutuk dirinya sendiri untuk dibakar dalam api terpanas di neraka. Terasa asinnya airmata di ujung bibir tipisnya, kenistaan itu merambat lemah dari mata hingga ke dagunya yang mungil.

Ini dosaku ya Bapa...jangan timpali kepada mereka yang menyayangiku...tak kubiarkan mereka remuk karena cintaku yang terlalu dalam untuk mereka—ayah dan bundaku

Berusaha kuat Kristall menyeka airmatanya, tapi aliran itu tak terbendung. Mereka pikir mungkin karena ia terharu atas hadiah cinta yang membuat ruang hatinya bertambah sempit. Oh tidak tahukah mereka tentang derita seorang pendusta yang menutup rapat rahasia busuknya, tidakkah mereka sadar akan wajah kebohongan yang terlihat jelas dimatanya...

Teriakan dan tangis bayi yang diangkat malaikat ke surga kembali terngiang diruang kedap suara jiwaku. Wajah minta kasih dan sayang karena telah rela bertandang menyelimuti pandanganku yang kabur karena airmata. Ingin rasanya kubasuh cinta mereka dengan kasih yang kupunya, segenap rasa yang membuatku begitu kejam dan terluka karenanya...

Ya Bapa biarkan aku tenggelam bersama dosa tapi jangan biarkan mereka luluh lantak karena kubunuh sebagian jiwaku...

Tak pantas kuminta ampunMu, atau bahkan sedikit iba untuk aku yang tak menjaga karuniaMu...

Ya Bapa

Kubebani diriku hingga nanti malaikat maut cabut jiwaku

Kubawa serta cinta yang tertunda untuk jiwa suci yang harusnya ada

Meski kutahu ia tidak akan disana

are you OK, dear?”, suara milik ayah membangunkan ia dari kesedihan.

“iya yah, aku cuma...”, jawabnya terbata.

you’re gonna be fine”, kini sentuhan halus tante Kalya dan suara seraknya yang menyemangati Kristall untuk kembali bahagia.

Aku rasa aku takkan pernah baik

Aku pembunuh...



* L.O.V.E by Nat King Cole (taken with no permission—he’s already die!)

DALAM DARAHKU TIDAK ADA IBU

Pikiranku merayap cepat saat menyaksikan salah satu tayangan televisi tentang melodi duka lara atas nama kebesaran Tuhan. Diceritakannya bagaimana perempuan buta itu pasrah tak berdaya melihat suaminya memaki kasar karena si istri sudah tidak dapat melayani, tak bisa memuaskan birahi si suami, tak bisa membahagiakannya, dan serupa dengan si istri, tak bisa kusalahkan suami itu bila akhirnya ia tidur dengan wanita lain, dengan lacur yang cuma menguras hartanya—tokh dalam agama yang kuanut, wanita hanya mesin pemuas pria (begitu salah satu artist menggambarkan pola kehidupan yang mengenaskan bagi seorang wanita). Tontonan ini—yang selama ini membuat perutku mulas, akhirnya membuatku sadar bahwa dalam darahku tidak setetes-pun yang mengalir dari darah ibu, bahkan aku skeptis kalau ia pernah rela meneteskan darahnya padaku.... Namun bagaimana aku ada, bila telurku pun enggan menampung sperma Ayah ???, aku mungkin seorang wanita yang tangguh, tapi aku tidak mungkin seorang wanita tanpa ibu.


Dengarlah barang sejenak raungan dinding yang terpasung asa

Merapat ke dalam abslepsia yang cekat tenaga

Aku hanya ingin satu detik pelukan

Aku hanya ingin satu menit ciuman

Aku hanya ingin satu jam kehangatan

Aku hanya ingin satu hari kebersamaan

Lalu kau pergi lagi tinggalkan fana tandangi maya


“kamu itu nggak ada gunanya jadi istri, masa bikin nasi goreng aja rasanya hambar?”, teriakan Ayah kembali menggema di seluruh ruangan luas dalam rumah dengan arsitektur victoria yang kami tempati. Rumah ini menjadi hunian kami selama 5 tahun terakhir, semenjak Ayah dipromosikan sebagai manajer di Bank tempatnya mencari nafkah. Aku dan adikku begitu bahagia saat itu—kalau tidak salah kami masih duduk di bangku sekolah dasar, aku di kelas 6 sedang adik di kelas 5, kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah ini adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku—sampai detik ini.

“jawab aku Hanni, kamu bisanya apa??? Ngurus anak cuma dua aja kamu nggak becus, kamu bisa apa... masih muda sudah ndak bisa melayani suami”, suara Ayah yang sedang bersemangat memaki ibu masih terdengar di telinga kami, walau sudah kupaksakan kupingku dan adik untuk tuli temporari dengan menutupnya pakai bantal.

“Yah, aku minta maaf, nggak enak Yah didenger tetangga...”, akhirnya kudengar suara ibu yang sedari tadi bisu menenangkan amarah Ayah.

“tetangga kamu bilang, emang tetangga ngerasain apa yang aku rasain, emang tetangga kita semuanya punya bini bego kaya kamu, enggak Hanni, cuma kamu yang bikin semua laki-laki senewen...”, kembali Ayah meluapkan marahnya, menyemburkan semua murka yang memang sudah seharusnya keluar di pagi hari cerah ditengah udara pagi bulan November. Dan ibu—yah lagi-lagi ibu mendekati Ayah yang kalut dan menyentuh lembut punggungnya, sabar dan penuh kasih, tanpa setitik pun airmata—walau belaian cintanya dibalas dengan satu tamparan manis pembuka hari minggu ini.

Ayah pergi dan kudengar sayup deru kendaraannya melesat keluar garasi, Ibu hanya tertunduk menyapu bersih pecahan piring yang tadi dialamatkan Ayah untuk memecahkan kepalanya.

Aku dan adik menghampirinya, memeluknya haru, mencium keningnya dan mengambil sapu juga das bin yang dipegangnya erat di atas kursi roda.

+ + +


Namaku Roshita Ariadna, orang-orang biasa memanggilku Oshi, hanya keluargaku yang memanggilku Shita, dan semenjak di bangku SMA aku memutuskan untuk menyebut diriku Oshi dihadapan teman-teman. Oshi yang hebat, Oshi yang pintar, Oshi yang cantik, Oshi yang palsu dihadapan cermin bola mataku. Andai dosa itu tak pernah ada, andai keluargaku dapat kutukar semau hati, mungkin aku bukan Oshi yang sekarang, Oshi yang harus membuka kedoknya setiap malam di hadapan cermin usang peninggalan ibunya

“Mum... ibu itu kasian banget yah, masa suaminya minta cerai tiba-tiba dia nggak marah...”, ujar putri tunggalku Heidi menanggapi sinetron duka lara ini.

“Namanya juga film. Pasti ngada-ngada, nggak mungkin ada orang sabarnya kayak gitu...”, jawabku—kalaupun memang ada kesabaran sampai tak berbatas; bisa – bisa kedudukan Tuhan diganti olehnya.

Aku tinggal dalam homestay nyaman di salah satu kotamadya dekat salah satu gugusan pantai terindah se-Indonesia (menurut salah satu majalah pariwisata,-), kebetulan suamiku yang WNA menjadi salah satu tenaga ahli di industri terbesar besi baja. Kehidupan nyaman dengan harta bergelimang ini kunikmati hampir 15 tahun lamanya, rekor yang cukup lama—mengingat biasanya para pria asing itu hanya mengawini wanita pribumi dengan sistem kontrak selama 5 sampai 10 tahun, namun suamiku Oscar memang pria yang baik, atau lebih tepat disebut pria yang lemah !!!

+ + +

Jakarta, 5 Mei’89

Aku bekerja sebagai sekretaris di salah satu Law Firm yang juga P.P.A.T di Jakarta, ternyata ijazah D3-ku berguna sebagai penyambung nyawa keluarga kami semenjak kematian Ayah 2 tahun silam. Aku datang ke Jakarta 3 tahun yang lalu, tinggal bersama saudara sepupuku yang kebetulan sudah mapan di Jakarta, sengaja aku tidak indekost karena biaya di pendidikan disana sudah hampir membuat keluargaku pailit. Untuk study saja, Ayah harus merelakan rumah mewah kami hasil jerih payahnya—padahal sudah hampir tuli kuping kami mendengar keluh kesahnya bila harus menjual rumah “hebat” versinya itu.

Dan setelah 3 tahun memerih uang saku, aku lulus dari pendidikan D3 sekretaris dengan indeks prestasi yang memuaskan. Sayang Indonesia kental dengan budaya koneksi, sehingga angka 3,23 yang menghias ijazahku tidak juga membuatku mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafide. Sampai suatu hari saudara sepupuku mengenalkanku pada Ibu Sri Ambarwati—salah satu notaris terkemuka di Jakarta, yang membutuhkan sekretaris pribadi yang handal.

Hari itu, hari dimana aku bertemu dengan seseorang yang menjungkirbalikkan kehidupanku, seseorang yang mengangkatku dari jurang keperihan, pengiritan, juga rasa sakit. Pria usia 28 tahun itu bukan pria asing yang tampan macam Brad Pitt, atau bertumbuh kekar macam Stallone... ia hanya pria asing bertubuh jangkung dengan rambut coklat dan mata almond berkacamata, Oscar Robertinno Lowrency. Tapi panggil saja dia Oscar, pria campuran Perancis-Italia yang warganegara Inggris, Oscar tinggal di Inggris semenjak ibunya yang juga penyanyi Opera di Italia, meninggal dunia karena kanker—entah kanker apa, karena setiap membahas Mamma-nya ia berubah lebih sayu. Sedang Daddy-nya yang keturunan Perancis tapi numpang lahir di Britania Raya, menduda sampai ajalnya tiba.

Oscar datang ke tempat kerjaku untuk mengurus salah satu propertinya di Jakarta yang akan dijual ke salah satu rekan bisnisnya, sedang ia sendiri harus pindah ke kotamadya Cilegon untuk menjadi tenaga ahli disana. Perkenalan kami berjalan lancar, dan kami memang cocok satu sama lain. Hubungan kami yang hanya berjalan selama 6 bulan, tenyata telah memantapkan hati Oscar untuk meminangku, saat itu pula Oscar datang ke kota masa kecilku untuk melamar kepada ibu.

+ + +

Bangun pagi dengan libido yang sudah diujung kepala memang lazim dialami oleh wanita bersuami—mungkin lebih tepatnya wanita dewasa, tapi hal ini menjadi tidak lazim manakala suami yang kau goda habis-habisan hanya mendengkur tenang sambil memunggungi. Tapi aku harus mencobanya lagi. Oscar tetap khusyuk dengan dengkurnya. Mungkin harus dimulai dengan pijatan halus di daerah paha. Tidak bereaksi, hanya sedikit bersuara uh. Harus naik ketahap meremas penis. Dia tetap diam, seakan yang kupegang hanya benda plastik buatan pabrik. Kucoba dengan meremasnya sambil mencium tengkuk Oscar. Ia bereaksi. Cihuy... Aku memberanikan diri membuka celananya, walau benda buatan Tuhan itu belum juga keras. Memasukannya ke mulut dan meremasnya halus. Pelan. Pelan. Pelan. Sedikit kencang. Sedikit jilatan. Kencang dengan gigitan. Mengeras. Bertambah keras. Ouch... Oscar berteriak sambil menjambak rambutku yang terjuntai di perutnya. Dan aku... yah sayangnya tak kusadari dari awal, kalau suamiku hanya berhasil membuahkan seorang Heidi Hortancia Lowrency di dalam rahimku.

Selebihnya sperma itu harus berakhir sebelum aku klimaks atau yang 2 tahun belakangan ini terjadi—di ujung lidah. Luar biasa menurut sebagian orang. Bertahan dengan blow job tanpa having sex selama 2 tahun terakhir. What an amazing ???. Tapi hal luar biasa bisa jadi biasa kalau rutin. Dan dari tekhnologi penis mainan aku beralih ke penis sungguhan.

+ + +

Semua orang di komplek ini tahu, tetangga-tetangga kami lebih dulu tahu tentang keberadaan Ayah yang menghilang hampir 2 bulan. Dan kali terakhir ia datang, ia hanya mengambil baju dalam jumlah banyak, sambil pergi memaki ibu—yang tidak menangis.Mereka tahu. Yah orang-orang diluar sana tahu. Kalau ayah sekarang tinggal dengan tante Avy, yang juga tetangga beda blok dengan kami. Tante Avy, si janda cantik nan kaya. Tante Avy yang hanya tinggal dengan pembantu dan kucing angora kesayangannya. Tante Avy yang kesepian katanya.

Ia teman ibu, dan seperti kehidupan setiap gadis cantik, persaingan menjadi syarat mutlak dalam pergaulan—entah kasat atau tak kasat. Persaingan ibuku dengan tante Avy bukan tanpa kesadaran, ibuku sepenuhnya sadar kalau mereka adalah dua gadis sempurna di zamannya, begitu juga tante Avy. Dari segala perebutan hal sepele sampai rebutan gelar, itu hal yang lumrah. Hanya satu yang membuatku heran, kenapa ibu dan tante Avy selalu menggilai pria yang sama. Ayahku—Surya Prana contonya, ia hanya pria biasa, pintar, dan sedikit tampan. Untuk ukuran ibu, Ayah mungkin sepadan, tapi bagi seorang Avy, apalah gunanya Ayah... ia bisa mendapatkan pria anak pejabat apa...bila ia mau, kekayaan tante Avy adalah hal yang tak mungkin dimenangkan ibuku seumur hidupnya.

Dan hari dimana Ayah meninggalkan rumah, mencoreng nama keluarga kami karena ia hanya pindah 3 blok dari rumah kami, merupakan hari paling berkesan sekaligus merubah kami—anaknya, menjadi wanita yang harus lebih tangguh dari wanita yang duduk di kursi roda diseberang kami, yang hanya diam mendengar gurauan tetangga tentang rumah tangga kamii yang dramatis.

+ + +

Ta, lo lagi ngapain?

Lagi renang sih, ada apaan Shif?

Gua pengen ke rumah lo, tapi ada Oscar nggak?

Gak lah, ini hari rabu, dia kerja.

Anak lo?

Heidi sekolah ampe sore.

Lo mau pergi nggak?

Shif, lo aneh amat, mau kesini ya kesini aja.

Gua serius Ta, gua butuh lo.

Ya udah kesini aja, gua tunggu.

Makasih ya Ta.

Telepon-pun ditutup.

Shiffa menelponku tiba-tiba di hari rabu yang panas ini, tapi Cilegon memang selalu panas tak terkontrol, seakan neraka-pun tak bisa memenangkan kepanasannya. Isak tangisnya sedikit menggangu kegiatan berenang sambil berjemurku dengan Davan, segera saja kusuruhnya berpakaian dan pulang, tak lupa kuselipkan 100 dollar di dalam celana panjangnya.

Shiffa—adikku, tinggal di Tangerang bersama dengan suaminya Isman, Pak Isman aku biasa memanggilnya, karena usia suami Shiffa lebih tua dari kami bertiga—aku, suamiku, ataupun Shiffa sendiri. Usia pernikahan mereka sudah berjalan 8 tahun, tapi selama itu pula mereka tidak membuahi satu anak-pun. Sama sepertiku atau sedikit lebih perih dariku, Shiffa harus berjuang dan bersahabat dekat dengan keprihatinan, dan karena itu pulalah ia memutuskan untuk menerima pinangan Isman, yang juga merupakan teman pamanku.

“dia mau maduin gua Ta...”, ucap Shiffa yang datang 45 menit setelah meneleponku.

“dia bilang perusahaannya butuh diwarisin, dan harus dengan anak biologis”, sambung Shiffa masih terus menangis. Kutawari ia segelas limun dingin buatan si bibi, tapi ia begitu sedih hingga limun segar itupun tidak membuatnya berselera.

“lo minta dia medical check-up nggak?”, tanyaku.

“udah Ta, tapi dia bilang dia sehat, dia nggak papa, buktinya bininya yang dulu bisa hamil, sayang nggak kuat jadi keburu mampus”, jawabnya.

“Shif lo jelasin dong kalo dia tuh udah 49 tahun, udah tua, beda dong sama dulu”.

“cape gua ngomongnya Ta”, jawab Shiffa putus asa.

“siapa madunya?”.

“Lenny, cliche kan, dia mau maduin gua sama sekretarisnya”.

Shiffa berhenti bicara sampai disitu, dia adikku—adikku yang tidak butuh belaian, tidak butuh pelukan hangat kakaknya, tidak butuh nasehat yang membuatnya makin senewen, ataupun support dalam bentuk apapun, hanya satu yang ia butuhkan...

“lu masih suka nyimeng kan Ta !!!”, ujarnya mantap sambil terus mencampur tembakau dari rokok putih dengan kanabis yang diberikan Davan sebelum pergi.

+ + +

Satu tahun setelah acara kabur-kaburan Ayah yang sensasional, Ayah kembali lagi kerumah diantar supir tante Avy.Keadaan Ayahku lengkap dengan kopor yang dibawanya pergi juga jaket kulit yang dikenakannya di malam ia membuat segalanya sempurna.Hanya saja, ia terlihat lemah, serangan jantung yang menyerangnya kemarin minggu membuat separuh tubuhnya seakan lumpuh. Dan tante Avy yang sudah—sebenarnya ia kurang puas dengan servis Ayah, mencicipi Ayahku, meninabobokannya dalam payudara silikon terbesar yang pertama kali kulihat dengan mata kepalaku, juga berteman sangat dekat dengannya selama satu tahun terakhir... hanya memandang iba ke arah ibuku yang langsung menyambut Ayah sembari mencium keningnya, kuingat jelas kalimat terakhir tante Avy sampai Shiffa memukul pipinya keras.

“Hanni, Hanni, keadaan kamu nggak pernah berubah. Kamu mungkin dapetin Surya, ngurus dia kayak babu, tapi dia tetap milikku...milikku yang patut kunikmati, sayang dia sekarang sampah”.

Hari itu aku sebenarnya lebih memilih Ayah tidak kembali ke rumah, tidak kembali ke kehidupan kami yang hampir nyaman walau morat-marit. Penyakit yang dideritanya hanya menambah daftar panjang keprihatinan kami. Hanya sedikit lebih ringan dengan dana pensiun dini milik Ayah, namun uang segar tidak selamanya segar, uang itu harus habis karena Ayah tidak sudi menjual rumah kami—demi mempertahankan gengsinya.Imbasnya adalah aku dan Shiffa, mau tidak mau kami harus merelakan masa SMA kami dengan bekerja paruh waktu, usiaku dan Shiffa hanya terpaut satu tahun sehingga kami lebih mirip teman baik ketimbang kakak-adik, apalagi Shiffa dan aku memang akur semenjak ibu kecelakaan dan akhirnya lumpuh.

Sementara para belia di muka bumi asyik pacaran, kongkow, ke disko... kami, yah... kami disini sekolah sampai pukul 3 sore, kerja di toko Ua Asan—kakak ipar Ayah, pulang kerumah lewat jam 8 malam, kadang melepas lelah dengan sembunyi-sembunyi merokok kanabis, yah saat itu kanabis sudah merajalela dan membentuk sebuah animo mutakhir dalam remaja

Aku ingat drama di televisi yang kusaksikan kemarin lusa, tentang bagaimana si isteri dengan senang hati menyambut sang suami yang lumpuh tak berdaya karena stroke, dikembalikan dengan kepuasan mutlak oleh pelacur yang menguras hartanya, sedikit berbeda memang dengan Ayahku—karena tante Avy alih-alih menguras uang Ayah melainkan tenaga kelaki-lakiannya hingga disfungsi ereksi, saat Ayah kembali dulu... bathinku berkecamuk, mempertanyakan apa yang dilakukan wanita kelewat hebat itu pada Ayah, hingga ia terserang jantung karena konsumsi viagra yang berlebihan, untuk masaku dulu viagra hanya berupa jamu kuat yang memang masih orisinil bukannya jamu campur zat kimia berbahaya, lagipun efeknya tidak semenakjubkan obat-obatan kimia di pasaran sekarang. Jadi dalam kasus Ayah yang tidak jauh berbeda dengan sapi perahan, viagra yang ia gunakan mungkin jamu campur zat kimia pertama yang ada di Indonesia.

Namun cerita itu begitu merefleksikan Ibu, ia juga menangis haru saat Ayah datang, mencium tangan dan keningnya sama seperti ketika ia memohon Ayah untuk berhenti berteriak dan kembali kagum pada pesona Ibu... bodoh, yah itu hal pertama yang selalu kusesali dari menjadi anak Ibu, aku lahir dari perjuangan wanita bodoh yang bahkan tidak bisa memperjuangkan kebahagiaannya sendiri, dan bukan hanya aku yang menatap jijik ke arah Ibu saat itu, adikku tak kalah geram, bahkan dengan frontal ia menunjukan kemuakannya akan romantisme antar Ibu dan Ayah. Semenjak saat itu, kami berubah—sekali lagi di sela-sela napas kami yang hampir lega hidup memaksa berubah.

+ + +

“Shif kamu harus ngerti dong, Ayah kan sakit, jadi dia mesti dibantu, mesti dikasih dukungan biar cepet sembuh”, ujar Ibu di suatu sore kepada adikku.

“siapa yang pengen dia sembuh??? Cuma Ibu doang, aku nggak Bu, aku pengen dia mati”, jawabnya lantang.

Ibu cuma diam, tidak memukul seperti ibu-ibu yang lainnya atau menyuruh Shiffa diam, justru ia yang memerintah dirinya untuk diam dan mundur, menggerakkan kursi rodanya ke arah kamar, kembali berkutat mengurusi Ayah.

“Ibu kenapa sih? Ibu tau nggak kalo Ibu juga sakit, Ibu juga repot ngerawat orang lain di atas kursi roda...”, lanjut Shiffa menyusul Ibu ke kamar.

“Ibu denger aku nggak, aku nggak butuh dia sembuh, aku butuh Ibu yang sembuh, IBU...”.

Tapi sekali lagi Ibu cuma diam, menatap Ayah masih dengan penuh kekaguman, masih dengan penuh keyakinan, masih dengan penuh kasih. Walau seberapa kalipun Ibu menatapnya, Ayah tetap Ayahku... Ayah yang meninggalkan kami disaat kami butuh, Ayah yang membuang jauh kasih Ibu untuk perempuan lain, Ayah yang sudi mengotori dirinya hingga lemah tak berdaya. Ayah yang murah, hingga cintanya dapat terbeli hanya dengan kesintalan.

Sementara Ayah, ia tercekat ditengah-tengah teriakan adikku, tak kuasa melawan segala keinginannya—yang ingin Ayah pergi untuk selamanya, terbakar api terpanas di Neraka, merasakan pahit yang kami tanggung setelah kepergiannya, setelah petualangannya yang sensasional melambungkan kedramatisan keluarga kami.

“kalo Tuhan nggak mau kabulin permintaan gua supaya dia mati, biar gua aja yang bikin dia mampus...”, ujar adikku lirih dengan napas tersenggal, menghampiriku yang sibuk membersihkan rumput.

“Ta, kok lo daritadi diem aja, lu udah bisu apa Ta?”, tanyanya sewot.

“kalo mau bunuh, ya tinggal bunuh, nggak usah cerita ma gua, ntar gue jadi saksi kunci”.

“geblek lu Ta...”

“lu yang gila, masa ortu sendiri mau lu matiin.”

“muak gua ngeliatnya...”

“biar aja dia gitu, ntar juga dia mati sendiri”.

“iya kalo mati, kalo enggak ?!?”.

“bagus...”

“hah ???.....”

“mati enggak, hidup enggak”, jawabku sambil masuk rumah, menaruh gunting rumput di lemari perkakas yang letaknya di dapur.

Shiffa tetap diam di pekarangan, memandangi tetangga seberang rumah yang sedang sibuk mempersiapkan panggangan untuk sate, kemarin lusa adalah hari Raya Idul Adha, hari dimana para sapi dan kambing harus menerima kiamat mereka, hari dimana para karnivora berpesta dengan restu yang Kuasa... dan seperti kebanyakan manusia yang menikmati Qurban, para binatang itu selalu saja berakhir menjadi daging potong dadu yang ditusuk lalu dibakar. Aku sudah biasa melihat tetangga-tetangga kami berkumpul di pekarangan mereka masing-masing, tertawa dan tertawa bersama keluarga, sedang kami—bahkan Hari Raya Lebaran hanya kami lewati dengan sungkem pada Ibu, dan tetap mengutuk Ayah.

+ + +

Suamiku sudah pulang sejak pukul 4 sore, sementara aku tidak ada di rumah, aku harus menemani Davan berbelanja ke Plaza Indonesia, namanya juga anak muda, harus berpenampilan menarik supaya agency-agency itu menerima lamarannya, meloloskan castingnya, memberinya peran dalam sinetron, iklan, atau bahkan film. Tapi ia merajuk, ia bilang, kalau tidak ada uang pelicin, ia takkan bisa tenar seumur hidup, walaupun rupanya yang tampan, dan badannya yang tinggi sempurna, tidak pula menjamin keselamatannya untuk menjadi populer dan kaya. Aku bisa saja menuruti permintaanya, tapi aku harus minta persetujuan Oscar untuk menurutinya, segala pengeluaran di balik punggungnya berakibat fatal—bisa-bisa tambang emasku itu ngambek dan pulang ke negaranya, membawa Heidy dan meninggalkanku terlunta-lunta.

Oscar sedang makan malam dengan Heidy waktu aku datang, Heidy tahu aku pergi dengan Davan, Heidy gadis pintar yang tak akan mengadu pada Daddy-nya, ia takkan rela hidup berdua dengan Oscar tanpaku, ia takkan sanggup menelan mentah-mentah kenyataan hidupnya yang akan berubah mengenaskan bila semua itu terungkap. Selama ini kehidupan keluargaku sempurna, semua orang tahu kalau aku istri yang berbakti, yang mendampingi suaminya, mengurus anaknya dengan baik, dan Davan—kedoknya tidak akan terbuka, selama seluruh manusia yang tak perlu tahu itu menganggapnya keponakanku, anak dari saudara jauhku di Sukabumi.

Setelah makan malam, Heidy pergi ke toko buku yang letaknya di pusat kota, tempat tinggal kami hampir berada di ujung kota, di bukit sejuk yang bernuansa perumahan a’la Amerika. Dan Oscar, ia menghampiriku yang sedang berkutat di meja rias setelah membersihkan—wajib dilakukan karena permainan nakalku baru saja kulakukan di pinggir tol. Ia mencium tengkukku dan memijat pundakku.

“are u tired?”, tanyanya

“enggak, kenapa?”.

“i want to spend this night with you”.

“tiap malem juga gitu”.

“more romance”.

“whha... “

“shall we?!?”

ia langsung menggedongku dan merebahkan tubuhku di sofa, sofa empuk tempatku biasa menikmati Davan di siang hari dan memuaskan Oscar di malam hari—yang hanya satu bulan sekali.

Hari ini sepertinya ia ingin memanjakanku, ia membelai lembut seluruh tubuhku, membuatku menikmati suguhan kenikmatan yang selama ini postphone dari kehidupan rumah tangga kami, aku tidak membathin macam-macam, tokh sekalipun kemanjaan yang ia berikan malam ini hanya kamuflase dari tindak menyimpangnya, aku tidak keberatan.

Oscar patut menikmati kesegaran yang lain selain aku, walau mukaku kencang, payudaraku cup C, bokongku indah, dan tubuhku sintal... tidak bisa kututupi bahwa aku hanyalah wanita berusia 38 tahun yang bolak-balik ahli kecantikan demi satu kata—seksi !

Biarlah... aku hanya bertugas menikmati dan dinikmati, aku tidak punya tanggung jawab moril apapun untuk kebahagiaan, bukankah kebahagiaanku sudah kupugar sejak lama. Heidy memiliki kehidupan yang sejahtera, Oscar dengan reputasi yang baik, dan aku yang tanpa kekurangan. Itu kebahagiaanku. Itu inginku. Aku bukan Ibu. Bukan Ibu yang bahagia dengan obsesi untuk memiliki Ayah. Bukan Ibu yang takut dosa dan menyerah menderita. Bukan Ibu yang rela membuat kedua anaknya muak. Bukan Ibu yang sudi menjual harga dirinya demi reputasi istri solihah. Bukan... Aku Roshita Ariadna, aku anaknya, tapi aku membuat kebahagiaanku sendiri, menyaru dalam gelimang kepuasan yang tak bosan-bosannya bertandang, dan aku tidak ingin satu tetes-pun dari sifat manutnya menulariku, menulari Shiffa, bahkan menulari Heidy. Kami berhak semena-semena, kami berhak menjadi yang pertama, kami berhak bahagia—dihujani harta.

Malam yang indah

Bulan meruak tawa

Bintang melantun do’a

Memohon para pendosa diberi kekal