Friday, May 25, 2007

DALAM DARAHKU TIDAK ADA IBU

Pikiranku merayap cepat saat menyaksikan salah satu tayangan televisi tentang melodi duka lara atas nama kebesaran Tuhan. Diceritakannya bagaimana perempuan buta itu pasrah tak berdaya melihat suaminya memaki kasar karena si istri sudah tidak dapat melayani, tak bisa memuaskan birahi si suami, tak bisa membahagiakannya, dan serupa dengan si istri, tak bisa kusalahkan suami itu bila akhirnya ia tidur dengan wanita lain, dengan lacur yang cuma menguras hartanya—tokh dalam agama yang kuanut, wanita hanya mesin pemuas pria (begitu salah satu artist menggambarkan pola kehidupan yang mengenaskan bagi seorang wanita). Tontonan ini—yang selama ini membuat perutku mulas, akhirnya membuatku sadar bahwa dalam darahku tidak setetes-pun yang mengalir dari darah ibu, bahkan aku skeptis kalau ia pernah rela meneteskan darahnya padaku.... Namun bagaimana aku ada, bila telurku pun enggan menampung sperma Ayah ???, aku mungkin seorang wanita yang tangguh, tapi aku tidak mungkin seorang wanita tanpa ibu.


Dengarlah barang sejenak raungan dinding yang terpasung asa

Merapat ke dalam abslepsia yang cekat tenaga

Aku hanya ingin satu detik pelukan

Aku hanya ingin satu menit ciuman

Aku hanya ingin satu jam kehangatan

Aku hanya ingin satu hari kebersamaan

Lalu kau pergi lagi tinggalkan fana tandangi maya


“kamu itu nggak ada gunanya jadi istri, masa bikin nasi goreng aja rasanya hambar?”, teriakan Ayah kembali menggema di seluruh ruangan luas dalam rumah dengan arsitektur victoria yang kami tempati. Rumah ini menjadi hunian kami selama 5 tahun terakhir, semenjak Ayah dipromosikan sebagai manajer di Bank tempatnya mencari nafkah. Aku dan adikku begitu bahagia saat itu—kalau tidak salah kami masih duduk di bangku sekolah dasar, aku di kelas 6 sedang adik di kelas 5, kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah ini adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku—sampai detik ini.

“jawab aku Hanni, kamu bisanya apa??? Ngurus anak cuma dua aja kamu nggak becus, kamu bisa apa... masih muda sudah ndak bisa melayani suami”, suara Ayah yang sedang bersemangat memaki ibu masih terdengar di telinga kami, walau sudah kupaksakan kupingku dan adik untuk tuli temporari dengan menutupnya pakai bantal.

“Yah, aku minta maaf, nggak enak Yah didenger tetangga...”, akhirnya kudengar suara ibu yang sedari tadi bisu menenangkan amarah Ayah.

“tetangga kamu bilang, emang tetangga ngerasain apa yang aku rasain, emang tetangga kita semuanya punya bini bego kaya kamu, enggak Hanni, cuma kamu yang bikin semua laki-laki senewen...”, kembali Ayah meluapkan marahnya, menyemburkan semua murka yang memang sudah seharusnya keluar di pagi hari cerah ditengah udara pagi bulan November. Dan ibu—yah lagi-lagi ibu mendekati Ayah yang kalut dan menyentuh lembut punggungnya, sabar dan penuh kasih, tanpa setitik pun airmata—walau belaian cintanya dibalas dengan satu tamparan manis pembuka hari minggu ini.

Ayah pergi dan kudengar sayup deru kendaraannya melesat keluar garasi, Ibu hanya tertunduk menyapu bersih pecahan piring yang tadi dialamatkan Ayah untuk memecahkan kepalanya.

Aku dan adik menghampirinya, memeluknya haru, mencium keningnya dan mengambil sapu juga das bin yang dipegangnya erat di atas kursi roda.

+ + +


Namaku Roshita Ariadna, orang-orang biasa memanggilku Oshi, hanya keluargaku yang memanggilku Shita, dan semenjak di bangku SMA aku memutuskan untuk menyebut diriku Oshi dihadapan teman-teman. Oshi yang hebat, Oshi yang pintar, Oshi yang cantik, Oshi yang palsu dihadapan cermin bola mataku. Andai dosa itu tak pernah ada, andai keluargaku dapat kutukar semau hati, mungkin aku bukan Oshi yang sekarang, Oshi yang harus membuka kedoknya setiap malam di hadapan cermin usang peninggalan ibunya

“Mum... ibu itu kasian banget yah, masa suaminya minta cerai tiba-tiba dia nggak marah...”, ujar putri tunggalku Heidi menanggapi sinetron duka lara ini.

“Namanya juga film. Pasti ngada-ngada, nggak mungkin ada orang sabarnya kayak gitu...”, jawabku—kalaupun memang ada kesabaran sampai tak berbatas; bisa – bisa kedudukan Tuhan diganti olehnya.

Aku tinggal dalam homestay nyaman di salah satu kotamadya dekat salah satu gugusan pantai terindah se-Indonesia (menurut salah satu majalah pariwisata,-), kebetulan suamiku yang WNA menjadi salah satu tenaga ahli di industri terbesar besi baja. Kehidupan nyaman dengan harta bergelimang ini kunikmati hampir 15 tahun lamanya, rekor yang cukup lama—mengingat biasanya para pria asing itu hanya mengawini wanita pribumi dengan sistem kontrak selama 5 sampai 10 tahun, namun suamiku Oscar memang pria yang baik, atau lebih tepat disebut pria yang lemah !!!

+ + +

Jakarta, 5 Mei’89

Aku bekerja sebagai sekretaris di salah satu Law Firm yang juga P.P.A.T di Jakarta, ternyata ijazah D3-ku berguna sebagai penyambung nyawa keluarga kami semenjak kematian Ayah 2 tahun silam. Aku datang ke Jakarta 3 tahun yang lalu, tinggal bersama saudara sepupuku yang kebetulan sudah mapan di Jakarta, sengaja aku tidak indekost karena biaya di pendidikan disana sudah hampir membuat keluargaku pailit. Untuk study saja, Ayah harus merelakan rumah mewah kami hasil jerih payahnya—padahal sudah hampir tuli kuping kami mendengar keluh kesahnya bila harus menjual rumah “hebat” versinya itu.

Dan setelah 3 tahun memerih uang saku, aku lulus dari pendidikan D3 sekretaris dengan indeks prestasi yang memuaskan. Sayang Indonesia kental dengan budaya koneksi, sehingga angka 3,23 yang menghias ijazahku tidak juga membuatku mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafide. Sampai suatu hari saudara sepupuku mengenalkanku pada Ibu Sri Ambarwati—salah satu notaris terkemuka di Jakarta, yang membutuhkan sekretaris pribadi yang handal.

Hari itu, hari dimana aku bertemu dengan seseorang yang menjungkirbalikkan kehidupanku, seseorang yang mengangkatku dari jurang keperihan, pengiritan, juga rasa sakit. Pria usia 28 tahun itu bukan pria asing yang tampan macam Brad Pitt, atau bertumbuh kekar macam Stallone... ia hanya pria asing bertubuh jangkung dengan rambut coklat dan mata almond berkacamata, Oscar Robertinno Lowrency. Tapi panggil saja dia Oscar, pria campuran Perancis-Italia yang warganegara Inggris, Oscar tinggal di Inggris semenjak ibunya yang juga penyanyi Opera di Italia, meninggal dunia karena kanker—entah kanker apa, karena setiap membahas Mamma-nya ia berubah lebih sayu. Sedang Daddy-nya yang keturunan Perancis tapi numpang lahir di Britania Raya, menduda sampai ajalnya tiba.

Oscar datang ke tempat kerjaku untuk mengurus salah satu propertinya di Jakarta yang akan dijual ke salah satu rekan bisnisnya, sedang ia sendiri harus pindah ke kotamadya Cilegon untuk menjadi tenaga ahli disana. Perkenalan kami berjalan lancar, dan kami memang cocok satu sama lain. Hubungan kami yang hanya berjalan selama 6 bulan, tenyata telah memantapkan hati Oscar untuk meminangku, saat itu pula Oscar datang ke kota masa kecilku untuk melamar kepada ibu.

+ + +

Bangun pagi dengan libido yang sudah diujung kepala memang lazim dialami oleh wanita bersuami—mungkin lebih tepatnya wanita dewasa, tapi hal ini menjadi tidak lazim manakala suami yang kau goda habis-habisan hanya mendengkur tenang sambil memunggungi. Tapi aku harus mencobanya lagi. Oscar tetap khusyuk dengan dengkurnya. Mungkin harus dimulai dengan pijatan halus di daerah paha. Tidak bereaksi, hanya sedikit bersuara uh. Harus naik ketahap meremas penis. Dia tetap diam, seakan yang kupegang hanya benda plastik buatan pabrik. Kucoba dengan meremasnya sambil mencium tengkuk Oscar. Ia bereaksi. Cihuy... Aku memberanikan diri membuka celananya, walau benda buatan Tuhan itu belum juga keras. Memasukannya ke mulut dan meremasnya halus. Pelan. Pelan. Pelan. Sedikit kencang. Sedikit jilatan. Kencang dengan gigitan. Mengeras. Bertambah keras. Ouch... Oscar berteriak sambil menjambak rambutku yang terjuntai di perutnya. Dan aku... yah sayangnya tak kusadari dari awal, kalau suamiku hanya berhasil membuahkan seorang Heidi Hortancia Lowrency di dalam rahimku.

Selebihnya sperma itu harus berakhir sebelum aku klimaks atau yang 2 tahun belakangan ini terjadi—di ujung lidah. Luar biasa menurut sebagian orang. Bertahan dengan blow job tanpa having sex selama 2 tahun terakhir. What an amazing ???. Tapi hal luar biasa bisa jadi biasa kalau rutin. Dan dari tekhnologi penis mainan aku beralih ke penis sungguhan.

+ + +

Semua orang di komplek ini tahu, tetangga-tetangga kami lebih dulu tahu tentang keberadaan Ayah yang menghilang hampir 2 bulan. Dan kali terakhir ia datang, ia hanya mengambil baju dalam jumlah banyak, sambil pergi memaki ibu—yang tidak menangis.Mereka tahu. Yah orang-orang diluar sana tahu. Kalau ayah sekarang tinggal dengan tante Avy, yang juga tetangga beda blok dengan kami. Tante Avy, si janda cantik nan kaya. Tante Avy yang hanya tinggal dengan pembantu dan kucing angora kesayangannya. Tante Avy yang kesepian katanya.

Ia teman ibu, dan seperti kehidupan setiap gadis cantik, persaingan menjadi syarat mutlak dalam pergaulan—entah kasat atau tak kasat. Persaingan ibuku dengan tante Avy bukan tanpa kesadaran, ibuku sepenuhnya sadar kalau mereka adalah dua gadis sempurna di zamannya, begitu juga tante Avy. Dari segala perebutan hal sepele sampai rebutan gelar, itu hal yang lumrah. Hanya satu yang membuatku heran, kenapa ibu dan tante Avy selalu menggilai pria yang sama. Ayahku—Surya Prana contonya, ia hanya pria biasa, pintar, dan sedikit tampan. Untuk ukuran ibu, Ayah mungkin sepadan, tapi bagi seorang Avy, apalah gunanya Ayah... ia bisa mendapatkan pria anak pejabat apa...bila ia mau, kekayaan tante Avy adalah hal yang tak mungkin dimenangkan ibuku seumur hidupnya.

Dan hari dimana Ayah meninggalkan rumah, mencoreng nama keluarga kami karena ia hanya pindah 3 blok dari rumah kami, merupakan hari paling berkesan sekaligus merubah kami—anaknya, menjadi wanita yang harus lebih tangguh dari wanita yang duduk di kursi roda diseberang kami, yang hanya diam mendengar gurauan tetangga tentang rumah tangga kamii yang dramatis.

+ + +

Ta, lo lagi ngapain?

Lagi renang sih, ada apaan Shif?

Gua pengen ke rumah lo, tapi ada Oscar nggak?

Gak lah, ini hari rabu, dia kerja.

Anak lo?

Heidi sekolah ampe sore.

Lo mau pergi nggak?

Shif, lo aneh amat, mau kesini ya kesini aja.

Gua serius Ta, gua butuh lo.

Ya udah kesini aja, gua tunggu.

Makasih ya Ta.

Telepon-pun ditutup.

Shiffa menelponku tiba-tiba di hari rabu yang panas ini, tapi Cilegon memang selalu panas tak terkontrol, seakan neraka-pun tak bisa memenangkan kepanasannya. Isak tangisnya sedikit menggangu kegiatan berenang sambil berjemurku dengan Davan, segera saja kusuruhnya berpakaian dan pulang, tak lupa kuselipkan 100 dollar di dalam celana panjangnya.

Shiffa—adikku, tinggal di Tangerang bersama dengan suaminya Isman, Pak Isman aku biasa memanggilnya, karena usia suami Shiffa lebih tua dari kami bertiga—aku, suamiku, ataupun Shiffa sendiri. Usia pernikahan mereka sudah berjalan 8 tahun, tapi selama itu pula mereka tidak membuahi satu anak-pun. Sama sepertiku atau sedikit lebih perih dariku, Shiffa harus berjuang dan bersahabat dekat dengan keprihatinan, dan karena itu pulalah ia memutuskan untuk menerima pinangan Isman, yang juga merupakan teman pamanku.

“dia mau maduin gua Ta...”, ucap Shiffa yang datang 45 menit setelah meneleponku.

“dia bilang perusahaannya butuh diwarisin, dan harus dengan anak biologis”, sambung Shiffa masih terus menangis. Kutawari ia segelas limun dingin buatan si bibi, tapi ia begitu sedih hingga limun segar itupun tidak membuatnya berselera.

“lo minta dia medical check-up nggak?”, tanyaku.

“udah Ta, tapi dia bilang dia sehat, dia nggak papa, buktinya bininya yang dulu bisa hamil, sayang nggak kuat jadi keburu mampus”, jawabnya.

“Shif lo jelasin dong kalo dia tuh udah 49 tahun, udah tua, beda dong sama dulu”.

“cape gua ngomongnya Ta”, jawab Shiffa putus asa.

“siapa madunya?”.

“Lenny, cliche kan, dia mau maduin gua sama sekretarisnya”.

Shiffa berhenti bicara sampai disitu, dia adikku—adikku yang tidak butuh belaian, tidak butuh pelukan hangat kakaknya, tidak butuh nasehat yang membuatnya makin senewen, ataupun support dalam bentuk apapun, hanya satu yang ia butuhkan...

“lu masih suka nyimeng kan Ta !!!”, ujarnya mantap sambil terus mencampur tembakau dari rokok putih dengan kanabis yang diberikan Davan sebelum pergi.

+ + +

Satu tahun setelah acara kabur-kaburan Ayah yang sensasional, Ayah kembali lagi kerumah diantar supir tante Avy.Keadaan Ayahku lengkap dengan kopor yang dibawanya pergi juga jaket kulit yang dikenakannya di malam ia membuat segalanya sempurna.Hanya saja, ia terlihat lemah, serangan jantung yang menyerangnya kemarin minggu membuat separuh tubuhnya seakan lumpuh. Dan tante Avy yang sudah—sebenarnya ia kurang puas dengan servis Ayah, mencicipi Ayahku, meninabobokannya dalam payudara silikon terbesar yang pertama kali kulihat dengan mata kepalaku, juga berteman sangat dekat dengannya selama satu tahun terakhir... hanya memandang iba ke arah ibuku yang langsung menyambut Ayah sembari mencium keningnya, kuingat jelas kalimat terakhir tante Avy sampai Shiffa memukul pipinya keras.

“Hanni, Hanni, keadaan kamu nggak pernah berubah. Kamu mungkin dapetin Surya, ngurus dia kayak babu, tapi dia tetap milikku...milikku yang patut kunikmati, sayang dia sekarang sampah”.

Hari itu aku sebenarnya lebih memilih Ayah tidak kembali ke rumah, tidak kembali ke kehidupan kami yang hampir nyaman walau morat-marit. Penyakit yang dideritanya hanya menambah daftar panjang keprihatinan kami. Hanya sedikit lebih ringan dengan dana pensiun dini milik Ayah, namun uang segar tidak selamanya segar, uang itu harus habis karena Ayah tidak sudi menjual rumah kami—demi mempertahankan gengsinya.Imbasnya adalah aku dan Shiffa, mau tidak mau kami harus merelakan masa SMA kami dengan bekerja paruh waktu, usiaku dan Shiffa hanya terpaut satu tahun sehingga kami lebih mirip teman baik ketimbang kakak-adik, apalagi Shiffa dan aku memang akur semenjak ibu kecelakaan dan akhirnya lumpuh.

Sementara para belia di muka bumi asyik pacaran, kongkow, ke disko... kami, yah... kami disini sekolah sampai pukul 3 sore, kerja di toko Ua Asan—kakak ipar Ayah, pulang kerumah lewat jam 8 malam, kadang melepas lelah dengan sembunyi-sembunyi merokok kanabis, yah saat itu kanabis sudah merajalela dan membentuk sebuah animo mutakhir dalam remaja

Aku ingat drama di televisi yang kusaksikan kemarin lusa, tentang bagaimana si isteri dengan senang hati menyambut sang suami yang lumpuh tak berdaya karena stroke, dikembalikan dengan kepuasan mutlak oleh pelacur yang menguras hartanya, sedikit berbeda memang dengan Ayahku—karena tante Avy alih-alih menguras uang Ayah melainkan tenaga kelaki-lakiannya hingga disfungsi ereksi, saat Ayah kembali dulu... bathinku berkecamuk, mempertanyakan apa yang dilakukan wanita kelewat hebat itu pada Ayah, hingga ia terserang jantung karena konsumsi viagra yang berlebihan, untuk masaku dulu viagra hanya berupa jamu kuat yang memang masih orisinil bukannya jamu campur zat kimia berbahaya, lagipun efeknya tidak semenakjubkan obat-obatan kimia di pasaran sekarang. Jadi dalam kasus Ayah yang tidak jauh berbeda dengan sapi perahan, viagra yang ia gunakan mungkin jamu campur zat kimia pertama yang ada di Indonesia.

Namun cerita itu begitu merefleksikan Ibu, ia juga menangis haru saat Ayah datang, mencium tangan dan keningnya sama seperti ketika ia memohon Ayah untuk berhenti berteriak dan kembali kagum pada pesona Ibu... bodoh, yah itu hal pertama yang selalu kusesali dari menjadi anak Ibu, aku lahir dari perjuangan wanita bodoh yang bahkan tidak bisa memperjuangkan kebahagiaannya sendiri, dan bukan hanya aku yang menatap jijik ke arah Ibu saat itu, adikku tak kalah geram, bahkan dengan frontal ia menunjukan kemuakannya akan romantisme antar Ibu dan Ayah. Semenjak saat itu, kami berubah—sekali lagi di sela-sela napas kami yang hampir lega hidup memaksa berubah.

+ + +

“Shif kamu harus ngerti dong, Ayah kan sakit, jadi dia mesti dibantu, mesti dikasih dukungan biar cepet sembuh”, ujar Ibu di suatu sore kepada adikku.

“siapa yang pengen dia sembuh??? Cuma Ibu doang, aku nggak Bu, aku pengen dia mati”, jawabnya lantang.

Ibu cuma diam, tidak memukul seperti ibu-ibu yang lainnya atau menyuruh Shiffa diam, justru ia yang memerintah dirinya untuk diam dan mundur, menggerakkan kursi rodanya ke arah kamar, kembali berkutat mengurusi Ayah.

“Ibu kenapa sih? Ibu tau nggak kalo Ibu juga sakit, Ibu juga repot ngerawat orang lain di atas kursi roda...”, lanjut Shiffa menyusul Ibu ke kamar.

“Ibu denger aku nggak, aku nggak butuh dia sembuh, aku butuh Ibu yang sembuh, IBU...”.

Tapi sekali lagi Ibu cuma diam, menatap Ayah masih dengan penuh kekaguman, masih dengan penuh keyakinan, masih dengan penuh kasih. Walau seberapa kalipun Ibu menatapnya, Ayah tetap Ayahku... Ayah yang meninggalkan kami disaat kami butuh, Ayah yang membuang jauh kasih Ibu untuk perempuan lain, Ayah yang sudi mengotori dirinya hingga lemah tak berdaya. Ayah yang murah, hingga cintanya dapat terbeli hanya dengan kesintalan.

Sementara Ayah, ia tercekat ditengah-tengah teriakan adikku, tak kuasa melawan segala keinginannya—yang ingin Ayah pergi untuk selamanya, terbakar api terpanas di Neraka, merasakan pahit yang kami tanggung setelah kepergiannya, setelah petualangannya yang sensasional melambungkan kedramatisan keluarga kami.

“kalo Tuhan nggak mau kabulin permintaan gua supaya dia mati, biar gua aja yang bikin dia mampus...”, ujar adikku lirih dengan napas tersenggal, menghampiriku yang sibuk membersihkan rumput.

“Ta, kok lo daritadi diem aja, lu udah bisu apa Ta?”, tanyanya sewot.

“kalo mau bunuh, ya tinggal bunuh, nggak usah cerita ma gua, ntar gue jadi saksi kunci”.

“geblek lu Ta...”

“lu yang gila, masa ortu sendiri mau lu matiin.”

“muak gua ngeliatnya...”

“biar aja dia gitu, ntar juga dia mati sendiri”.

“iya kalo mati, kalo enggak ?!?”.

“bagus...”

“hah ???.....”

“mati enggak, hidup enggak”, jawabku sambil masuk rumah, menaruh gunting rumput di lemari perkakas yang letaknya di dapur.

Shiffa tetap diam di pekarangan, memandangi tetangga seberang rumah yang sedang sibuk mempersiapkan panggangan untuk sate, kemarin lusa adalah hari Raya Idul Adha, hari dimana para sapi dan kambing harus menerima kiamat mereka, hari dimana para karnivora berpesta dengan restu yang Kuasa... dan seperti kebanyakan manusia yang menikmati Qurban, para binatang itu selalu saja berakhir menjadi daging potong dadu yang ditusuk lalu dibakar. Aku sudah biasa melihat tetangga-tetangga kami berkumpul di pekarangan mereka masing-masing, tertawa dan tertawa bersama keluarga, sedang kami—bahkan Hari Raya Lebaran hanya kami lewati dengan sungkem pada Ibu, dan tetap mengutuk Ayah.

+ + +

Suamiku sudah pulang sejak pukul 4 sore, sementara aku tidak ada di rumah, aku harus menemani Davan berbelanja ke Plaza Indonesia, namanya juga anak muda, harus berpenampilan menarik supaya agency-agency itu menerima lamarannya, meloloskan castingnya, memberinya peran dalam sinetron, iklan, atau bahkan film. Tapi ia merajuk, ia bilang, kalau tidak ada uang pelicin, ia takkan bisa tenar seumur hidup, walaupun rupanya yang tampan, dan badannya yang tinggi sempurna, tidak pula menjamin keselamatannya untuk menjadi populer dan kaya. Aku bisa saja menuruti permintaanya, tapi aku harus minta persetujuan Oscar untuk menurutinya, segala pengeluaran di balik punggungnya berakibat fatal—bisa-bisa tambang emasku itu ngambek dan pulang ke negaranya, membawa Heidy dan meninggalkanku terlunta-lunta.

Oscar sedang makan malam dengan Heidy waktu aku datang, Heidy tahu aku pergi dengan Davan, Heidy gadis pintar yang tak akan mengadu pada Daddy-nya, ia takkan rela hidup berdua dengan Oscar tanpaku, ia takkan sanggup menelan mentah-mentah kenyataan hidupnya yang akan berubah mengenaskan bila semua itu terungkap. Selama ini kehidupan keluargaku sempurna, semua orang tahu kalau aku istri yang berbakti, yang mendampingi suaminya, mengurus anaknya dengan baik, dan Davan—kedoknya tidak akan terbuka, selama seluruh manusia yang tak perlu tahu itu menganggapnya keponakanku, anak dari saudara jauhku di Sukabumi.

Setelah makan malam, Heidy pergi ke toko buku yang letaknya di pusat kota, tempat tinggal kami hampir berada di ujung kota, di bukit sejuk yang bernuansa perumahan a’la Amerika. Dan Oscar, ia menghampiriku yang sedang berkutat di meja rias setelah membersihkan—wajib dilakukan karena permainan nakalku baru saja kulakukan di pinggir tol. Ia mencium tengkukku dan memijat pundakku.

“are u tired?”, tanyanya

“enggak, kenapa?”.

“i want to spend this night with you”.

“tiap malem juga gitu”.

“more romance”.

“whha... “

“shall we?!?”

ia langsung menggedongku dan merebahkan tubuhku di sofa, sofa empuk tempatku biasa menikmati Davan di siang hari dan memuaskan Oscar di malam hari—yang hanya satu bulan sekali.

Hari ini sepertinya ia ingin memanjakanku, ia membelai lembut seluruh tubuhku, membuatku menikmati suguhan kenikmatan yang selama ini postphone dari kehidupan rumah tangga kami, aku tidak membathin macam-macam, tokh sekalipun kemanjaan yang ia berikan malam ini hanya kamuflase dari tindak menyimpangnya, aku tidak keberatan.

Oscar patut menikmati kesegaran yang lain selain aku, walau mukaku kencang, payudaraku cup C, bokongku indah, dan tubuhku sintal... tidak bisa kututupi bahwa aku hanyalah wanita berusia 38 tahun yang bolak-balik ahli kecantikan demi satu kata—seksi !

Biarlah... aku hanya bertugas menikmati dan dinikmati, aku tidak punya tanggung jawab moril apapun untuk kebahagiaan, bukankah kebahagiaanku sudah kupugar sejak lama. Heidy memiliki kehidupan yang sejahtera, Oscar dengan reputasi yang baik, dan aku yang tanpa kekurangan. Itu kebahagiaanku. Itu inginku. Aku bukan Ibu. Bukan Ibu yang bahagia dengan obsesi untuk memiliki Ayah. Bukan Ibu yang takut dosa dan menyerah menderita. Bukan Ibu yang rela membuat kedua anaknya muak. Bukan Ibu yang sudi menjual harga dirinya demi reputasi istri solihah. Bukan... Aku Roshita Ariadna, aku anaknya, tapi aku membuat kebahagiaanku sendiri, menyaru dalam gelimang kepuasan yang tak bosan-bosannya bertandang, dan aku tidak ingin satu tetes-pun dari sifat manutnya menulariku, menulari Shiffa, bahkan menulari Heidy. Kami berhak semena-semena, kami berhak menjadi yang pertama, kami berhak bahagia—dihujani harta.

Malam yang indah

Bulan meruak tawa

Bintang melantun do’a

Memohon para pendosa diberi kekal

1 comment:

dunia_jasmine said...

mantep cerpennya!! kaya tokoh Dolly di novel Anna Karenina, bahkan Roshita sendiri mirip dgn tokoh Anna, perselingkuhan yang terjadi di kalangan atas. bener gk sih? atau emng cm subjektifnya gw doang nih!hehehee..ada matriachal dan patriachal di cerpen ini, tp sebenernya yg nyebabin patriachal ada tuh justru matriachal, waktu masyarakat komunal primitif lebih memilih utk menetap, cewe bercocok tanam dan cowo berburu, disitu peran cewe lebih penting(matriarchal) karena hasil dari berburu yg gk pasti. loh kok nyambung kesitu!!emng kewajiban istri dalam agama yg gw anut(kl emng cerpen ini ngegambarin keluarga yg beragama ky yg gw anut)utk patuh kpda suami. bahkan utk menjenguk orang tuanya yg sekarat pun apabila tanpa izin suami kan dilarang. kasian sih posisi cewe, tp kl emng gk mu kaya gitu, ya dobrakk aja batasan itu. kayanya tokoh Roshita Ariadna, emng gk ngewarisi sifat ibunya, tp kan ada pepatah, buah gak jatuh dari pohonnya, Roshita Ariadna malah ngewarisiin sifat ayahnya, image is everything but attitudes nothing,alias dengan wujud yg lbh ky bidadari,hehehee…gw sih lbh snng tokoh Shiffa yg lebih milih lari dari kenyataan. emang kadang2 saat orang lain yg ada dalam masalah kita bisa seenaknya nentuin solusinya, tp pas kita yg ada di masalah tersebut, tedeeeeeewwww...ahhh, orang tua emng susah dimengerti! duh jd panjang gini komennya…pokoknya keren, trusin dunk…!soalnya gw masih pgn tau gmn kehidupan shiffa selanjutnya,hehehe..sapa sih shiffa tuh?kl terinspirasi dr cewe yg ada di kota kita, kenalin ke gw ya! Hahahaa…