Wednesday, March 10, 2010

I LOVE YOU

padahal aku telah mengeja cinta
dari selongsong hatimu yang merah*

Kini dengarkan aku. Dengarkan aku walau cuma sekali. Dengarkan aku walau kau akui bahwa kini kau tuli—aku tak peduli. Iya sayang, aku tak peduli, bukan karena aku berhenti mencintai. Tidak tidak, tidak pernah sedikit pun terbersit di hatiku untuk berhenti mencintaimu. Tidak pernah sedikitpun aku berniat untuk berhenti mengagumi. Tidak sayang, jangan pernah bilang begitu...percayalah padaku, seperti sekian ratus kepercayaan yang kutanamkan dalam jiwamu.
Ingatkah kau pertama kali dulu. Waktu aku belum mengerti bagaimana caranya untuk mencintai. Ketika aku masih seranum buah mangga, saat aku masih hijau sekali. Kalau kau lupa, mari mengingatlah. Ingatlah aku saat itu, di pertemuan kita kali pertama. Kala usiamu sudah beranjak 25 sedang aku hanya gadis muda...kala kau mengajariku mengeja, mengeja cinta yang kautulis dalam dada.
Saat itu saat-saat yang indah bukan sayang. Kau mengajariku cara mengeja, tidak hanya mengeja kata-kata dalam rupa bahasa, kau juga mengajariku mengeja cinta yang rumit nan sederhana. Aku eja kalimat “i am student” setelah kau tulis kata-katanya di papan tulis hitam. Selanjutnya kueja kalimat “i love you” yang kaugunakan untuk merayu. Kau ajari aku mengeja cinta—aku belajar mengeja hatimu..

Jangan diam saja, belum cukupkah rangsangan yang kuberikan demi kembalinya semua memori itu?...baiklah kalau begitu, ini semua maumu!

“kumohon Marni...sadarlah”.

Tak perlu menyadarkan aku, sayang. Kesadaran membuatku kembali bisu. Maka jika kau ingin aku segera berubah kembali membatu...ingatlah padaku. Berpalinglah sayang. Tatap aku lekat-lekat seperti dulu. Ingatlah aku saat itu, saat usiaku baru saja 15...dan itu sekitar 20 tahun yang lalu.

20 tahun yang lalu, kau tiba-tiba saja datang. Kau tiba sebagai seorang guru yang diperbantukan di desa. Pembawaanmu yang halus. Kacamata kotakmu yang menyempurnakan garis-garis rahang itu. Serta tutur bahasa yang teratur membuatku terpukau dengan guru bahasa Inggris baruku.
Mulanya aku tak tahu bagaimana rupanya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Mulanya pun aku belum kenal rasanya jatuh cinta. Maka kau mengajariku, lewat les sepulang sekolah untuk membiasakan lidahku mengucap kalimat “yes, i do”—kau ajari aku untuk bercumbu.
Ingatkah kau sayang???Suatu petang kau datang ke bilik rumahku yang reyot, kau rayu bapak-ibuku untuk dapat mengajakku berjalan-jalan. Saat itu aku hanya gadis lugu. Gadis lugu yang tersipu malu. Dibelai rambutnya oleh pak guru, lalu merasakan lumatan nafsu dengan kaku.
Rambutku yang panjang sebahu...habis kauhirup (seperti kini kuhirup tar dan nikotin masuk paru-paru).
Pipiku yang sehalus bulir-bulir hujan di hari sabtu luluh kau ciumi.
Saat itu hatiku masih abu-abu. Aku belum mengenal apa itu batasan cinta dan nafsu. Namun kau membimbingku melewati setapak jalan berbatu.
Kau ingat kan, sayang?!?

“Marni...ini aku...ingatlah”.

Ya Tuhan...ya Bapaku...aku justru yang menginginkanmu mengingatku. Aku selalu mengingatmu, sayang. Betapa tidak...kau manusia pertama yang menjamahku, yang menodai kesucian air basuhanku. Kau datang di hidupku yang seharusnya berwarna merah, kuning, jingga, dan ungu. Kau datang dan merubah semua semarak warna menjadi lebih menyala. Kau membantuku sayang. Ingatkah?!?
Kau membantuku menyelesaikan PR. Kau membantuku membawa ibu ke rumah sakit. Kau membantuku melunasi hutang Bapak. Kau membantuku membayar sekolah Marno dan Mirah. Kau bahkan membantu kami untuk tetap bisa makan nasi...kau memang sangat murah hati, untuk itu aku teramat sangat mencinta—mencitaimu!
Cintamu mungkin sudah menggebu kala itu. Tapi cintaku ini ibarat bunga bermekaran. Berawal dari kuncup ketika pertama kau kecup halus pipiku. Lalu merekah ketika kau jamah buah dadaku. Hingga akhirnya mekar sempurna saat kau setubuhi aku.
Ingatlah betapa menggebu kau lucuti pakaianku satu per satu. Ingatlah semua janji manismu. Ingatlah saat kau berkata...”Marni, aku hanya ingin kamu yang menemani, jangan perempuan lain, hanya kamu seorang, only you”.
Ingatkah kau, sayang?...ayo ingatlah, ingat aku dalam tindihan beratmu yang ratusan kilo itu. Ingat aku yang merintih demi menahan rasa sakit sobekan selaput daraku. Ingatlah...kumohon ingatlah.

Aku pun begitu yakin kau mengingatnya...yakin sekali akan ingatanmu tentang itu
Jadi sekarang kau bersedia kan? Bersedia mengingat setiap detik waktu yang kita habiskan. Ayolah sayang, jangan membuatku kecewa.

(kukecup bibirmu sambil membelai lembut rambutmu!)

“Marni...sudahlah, aku lelah”

Aduh sayang. Bagaimana mungkin kau jadi loyo begini. Setahuku 20 tahun yang lalu, kau adalah pria tangguh pencuri keseluruhan jiwaku. Kau curi keperawananku. Kau curi masa mudaku. Kau curi keyakinanku. Kau curi aku...iya...jangan menggeleng, kau memang mencuriku.
Kenapa???
Kau tidak sadar telah mencuriku.
Kalau begitu biar kusegarkan ingatanmu.
Setelah peristiwa malam itu, lalu malam malam selanjutnya, disusul malam malam berikutnya, aku pun mengandung. Usiaku 16 tahun saat itu. Setelah kehamilanku bertambah besar, mau tak mau kau pun harus menikahiku. Mau tak mau aku pun dinikahimu.
Ya...aku memang dinikahimu. Dinikahi dengan pria yang usianya jauh diatasku. Mantan guru sekolah menengah pertamaku. Dengan keyakinan yang berlawanan denganku.
Saat itu aku menerimamu. Seperti menerima dengan pasrah keinginanmu untuk memaksaku mengubah panggilan Tuhan. Seperti menerima keinginamu untuk membuatku berhenti mengumandangkan doa dalam bahasa yang tak kau kenal. Seperti menerima kenyataan bahwa kini aku hanya perlu duduk bersimpuh untuk bertemu Tuhan. Aku sangat menerimamu, menerima kehadiranmu dihidupku. Menerima tindihan berat badanmu diatas tubuhku. Menerima tindihan berat bebanmu diatas hidupku

Jadi berbaik hatilah barang sedikit. Ingatlah dan tataplah aku seperti dulu. Seperti ketika kau remas payudaraku dengan gemas.

“Marni...demi Tuhan, ampuni aku”

Bukan aku yang seharusnya mengampunimu. Aku bukan Tuhan, aku belum pantas jadi Tuhan. Aku ini hanya manusia lemah berusia 30 tahunan yang habis kau serap sarinya. Aku ini hanya ibu 4 anak yang sibuk mondar-mandir kamar dan dapur. Aku bukan Tuhan—dan tidak ingin jadi Tuhan.
Akupun tak meminta pengampunanmu, sayang. Aku hanya meminta sedikit kesegaran ingatan. Ingatan indah tentang masa-masa kita yang silam. Masa-masa dimana kau merenggutku paksa. Masa-masa dimana akhirnya aku menyerahkan sepenuhnya tampuk kepemimpinan hidupku.
Ingatkah....
20 tahun yang lalu. Ketika kau nikahi aku. Bukan langgar dengan karpet hijau terhampar yang menjadi tempat kita bersumpah setia. Kau tuntun aku, bapak, ibu, serta Marno dan Mirah untuk duduk menghadap salib Tuhanmu.
Air suci terpercik di kepalaku, sebuah janji ikatan kulafalkan dalam satu keyakinan yang tak kupercaya. Percaya tak percaya, aku harus percaya. Aku harus mempercayai semua ajarannya dan menghapus semua ingatanku akan keyakinan yang selama ini kupegang teguh. Ini demi kau...demi kau...bukan demi kita.
Setelahnya kau bawa aku dalam rumah yang kausebut surga, sedang aku lebih suka menyebutnya neraka. Bagaimana tidak, di usiaku yang masih muda, aku harus mengurusmu juga ketiga adikmu yang beringas. Di usiaku yang sangat belia, aku sudah berperan ibarat ibu rumah tangga. Aku tersiksa saat itu, namun sudah kuhapus siksaan itu jauh-jauh dari hatiku. Itu semua karena aku mencintaimu.
(kembali kukecup wajahmu)
Lalu lahirlah bayi mungil itu. Bayi yang kauberi nama Wulandari. Wulandari yang manis itu lahir ketika bulan sedang bersolek dan bersinar penuh harapan. Wulandari harapan kita. Wulandari yang kupuja, Wulandari yang tak kau puja. Harapanmu seorang pria sejati keluar dari rahimku, sayang hanya seorang bayi ayu yang menangis kencang malam itu.

“Marni...apa yang kau katakan?!?”

Apa yang kukatakan. Aku mengatakan semua hal untuk membangkitkan ingatan. Ingatanmu akan aku, dan semua putri-putrimu. Iya...mereka semua berjenis kelamin perempuan, dan kau membencinya. Kau ingin anak laki-laki kan? Dari dulu kau ingin anak laki-laki. Karena itu kau membenci mereka. Membenci kelima gadis pujaanku. Ingatkah kau akan kebencian itu—satu demi satu???...jangan gelengkan kepalamu, jangan sanggah tuduhanku. Aku tahu kebenaran setiap fakta yang meluncur hari ini. Jadi mengapa harus mengelak. Mengapa kau membenci buah cinta kita? Mengapa???
Kau membencinya. Kau membenci anak-anak kita. Aku ingat betul pada malam kelahiran Setyorini—putri kedua kita. Kau bahkan enggan menatapnya. Romanmu berubah ketika ibu bidan menyerahkannya padamu. Lagi-lagi perempuan, bukan laki-laki seperti yang kau harapkan. Kau kecewa, kecewa akan kemampuanku beranak-pinak, kecewa akan pemberian bidadari-bidadari lucu itu. Kau bahkan kecewa karena mereka perempuan....kenapa sayang?. Padahal aku pun perempuan, tapi tapi kau memujaku. Ingatkah betapa kau memujaku, kau memujaku bagai cawan suci...cawan suci tempatmu menuang anggur perjamuan, anggur yang kaureguk habis tak bersisa. Lalu kenapa, kenapa kau membenci anak-anak kita???
Tapi semuanya belum usai, pertanyaanku masih akan sangat panjang. Bagaimana dengan Arumsari, bayi selanjutnya yang kulahirkan. Kau yang memintanya untuk ada. Tuhan mengabulkannya walau bukan dalam wujud pria. Aku pun berdoa, berdoa dengan cara yang kau ajarkan. Berlutut di bawah patung suci Bunda, memintanya untuk mengabulkan harapan suami tercinta...tapi tidak ada, tidak ada tangis bayi jantan dirumah kita. Ketiga anakku semuanya wanita.
Belum lelah mencoba, kau pun membuatku kembali mengisi perut. Tidak aku tidak lelah, walau jarak anak-anak kita hanya setahun. Walau aku harus membuncit tiap tahunnya dan menjerit kesakitan pada bulan ke-sembilan.
Kehamilanku yang keempat sedikit berbeda, mungkin karena sikapmu yang juga berbeda, atau karena tubuhku yang sudah jauh berbeda, ah sudahlah...yang penting saat itu begitu berbeda. Kau mengurangi rutinitas malam kita. Kau pun lebih sering mengeluh ini dan itu. Aku lebih sering mengharu biru...sampai Martini lahir. Iya...anak perempuan kita yang keempat, anak yang mati menahan beban karena tak tahan melihatmu begitu berambisi. Anak yang meninggal kelelahan karena aku tak sanggup membendung airmata, ia mati di usia dini—tujuh bulan.
Bagaimana sayang...ingatkah kau pada mereka sekarang?
Kenapa???...kenapa kau begitu tega, kau bahkan membiarkanku naik becak sendirian ketika harus kulahirkan Kesumah. Kenapa sayang???

“Marni...kau sudah gila”

(teriakanmu kuredam dengan ciuman sayang)

Aku tidak gila. Aku belum gila. Dan aku takkan gila.
Aku sangat waras. Sewaras ketika pertama kali kau lumat habis bibirku. Bibir yang kupakai untuk melafalkan ayat-ayat suci firman Tuhanku. Aku masih sadar. Sesadar ketika pertama kali kulihat kau melucuti pakaian Mirah. Iya aku tahu itu semua. Memangnya kenapa?. Kau heran kenapa sekian lama ini aku membisu. Tidakkah kau mengerti, aku ini hanya gadis desa tamatan SMP dengan empat anak yang harus diberi makan. Aku pula yang harus menanggung beban kebutuhan Bapak juga Ibuku. Kalau sampai kejadian yang terjadi antara kau dan Mirah sampai muncul ke permukaan, selain kau coreng mukaku, aku pun kehilangan satu-satunya sumber nafkah keluarga.
Aku belum mampu menghidupiku, menghidupi anak-anakku, menghidupi orangtuaku. Jadi aku diam seribu bahasa, meski aku tahu dengan jelas setiap bekas kerokan itu mengisyaratkan hubungan kalian yang terlarang
Jadi bagaimana, sayang? Ingatkah kau akan semua cerita ini. Cerita yang dengan sulit kurangkai dalam susunan kalimat tanpa terbata-bata. Luncuran kata-kata yang lugas keluar dari dalam dada. Ah aku lega...aku tak pernah bisa selancang ini padamu. Aku bungkam mulutku demi sebuah harga keutuhan keluarga.
Tapi sudahlah...aku malas untuk tetap mencinta dengan kepalsuan sempurna. Kau khianati aku dengan darah dagingku. Kau tolak jamahanku. Kau buat hatiku ngilu.
Dan sekarang aku hanya meminta kau mengingat. Mengingat setiap sentuhan, lenguhan, dan buaian yang kauberikan 20 tahun silam. Kembalikan semua milikku.
Ayo kembalikan memori tentangku.
Tentang paras ayu yang membuatmu memuja. Tentang rambut legam yang membuatmu terpana. Tentang wangi parfum murahan yang membuatmu terajam asmara. Tentang semuanya tentangku. Kembalikan padaku.
Jangan paksa aku berbuat keji padamu.
Ayolah sayang...cobalah, cobalah mengingat semua kenangan manis itu. Cobalah kembali berpaling padaku... coba terus meskipun kau harus kelelahan.

***

(Di luar sana terdengar teriakan dimana-dimana. Ada kebakaran mereka bilang, kau pun sama paniknya, sama takutnya, sama histerisnya melihat api yang tadinya hanya secercah dian. Tidakkah kau lihat wujud hatiku, sayang? Hampir mirip dengan api yang tersulut. Mulanya kau nyalakan redup, kini cahayanya justru membuatmu takut!)

“maafkan aku sayang, aku memintamu mengingat akan aku.”.
“Marni...kau bicara apa?aku suamimu...aku mencintaimu, sudah pasti aku mengingatmu”.

(Kupeluk tubuhmu yang sudah tak lagi kencang. Kubaui tengkukmu. Kusentuh jari-jemarimu yang mulai membiru. Ternyata aku masih sangat mencintaimu. Walau kau nodai ranjang pengatinku dengan darah perawan Mirah. Walau kau tolak aku ratusan kali untuk kembali mereguk nikmat. Walau kau tak lagi ada. Seperti ketenangan yang telah pergi begitu lama dari hidupku).

“aku merindukanmu.”.
“Marni...kita harus pergi”

(Seharusnya aku memang sudah pergi lama dari rumah ini. Bertindak egois dengan meninggalkanmu, anak-anak, juga ayah-ibu. Tapi tetap saja aku tak mau. Tak mau untuk meninggalkanmu. Tak mau untuk berhenti mengurus bidadari-bidadariku. Tak mau untuk menyakiti ayah-ibu. Aku tak mau...tak mau pula aku menyerahkanmu begitu saja pada adikku).

“apakah kamu benar-benar ingin pergi?”.
“kita memang harus pergi, lari bahkan?”

(Iya...kau benar. Aku seharusnya memang lari. Lari sejauh mungkin. Lari sekuat mungkin. Lari secepat mungkin. Semestinya dari dulu, dulu dulu sekali. Tapi aku bukan pelari yang tangguh, paling-paling baru sampai setengah pelarian, aku sudah tak tahan dan berputar arah kembali ke garis awal—mana bisa begitu!).

“sudahlah, kita dirumah saja. Kita tunggu Wulandari, Setyorini, Arumsari, juga Kesumah pulang study tur dari Borobudur”.
“Marrr...”

(kalimatmu terputus, seperti jalinan nadi kita yang juga terputus. Aku melayang lepas di udara sambil terus berusaha sekuat tenaga menggenggam jari-jemarimu yang terbujur kaku. Diluar sana kudengar orang-orang berteriak2, rumah kita memerah, api yang kusulut membara dan membungihanguskan bangunan laknat itu. Kini kau ingat kan sayang, betapa indah sekian kenangan kau pugar untukku. Kini kau kenang kan sayang, betapa menggembirakan sekian ratus cerita kurangkai untukmu. Kini kau percaya kan sayang, betapa aku mencintaimu sampai detik terakhir kita bernafas. Ini cintaku, ini hidupku, ini matiku!!!).
***

Lihat itu, sayang. Dibawah sana para tetangga bahu-membahu menggotong kita. Mirah menjerit-jerit seperti orang gila, bedebah kecil itu cukup tahu diri untuk teriak-teriak seperti pesakitan. Aku sudah tidak percaya lagi dengannya. Dan ini semua karenamu, aku kehilangan kasih sayangku karena sebegitu memujanya hatiku pada dirimu. Aku bahkan kehilangan kendali hidup saat kau bilang cintamu kini untuk adik bangsatku. Lebih baik kita melayang-layang tak tentu arah seperti ini. Lebih baik aku bawa kabur hatimu pergi jauh dari bumi. Lebih baik kita berdua bergenggaman erat sampai mati. Lebih baik begini.

Ingatkah kalimat pertama yang kau ajarkan padaku, sayang? (aku tersenyum). Aku yakin kau mengingatnya. Kata-kata dalam bahasa asing itu. Kata-kata yang membuat lidahku kelu. Kata yang kueja satu per satu dengan bantuanmu. Kau ingat???...duh senangnya, akhirnya kau mengangguk, anggukan tanda setuju yang 10 tahun mangkir dari hidupku.

kini
ejalah lagi
kini*

***

***totally inspired by “aku mengeja cinta, kau mengeja ragu”

*taken with permission (later) from Remy Soetansyah’s Poetry; “aku mengeja cinta, kau mengeja ragu”

grootegracht

Saya ingat sekali dulu pernah bertemu dengan dia. Dulu sekali, tapi entah kapan, tapi saya yakin bahwa saya memang pernah bertemu dengan sosok itu. Saya masih ingat detail tubuhnya, saya bahkan masih ingat harum tubuhnya. Dan kini ketika saya berpapasan dengannya dalam sebuah pertemuan tak sengaja, sayapun kembali melontarkan tatapan mata itu. Tatapan mata yang dulu sekali pernah membuatnya berdesir, terkulai, terlena, terajam panah asmara. Tatapan mata yang sebelumnya saya mintakan pada Eros untuk menghadiahkannya pada suatu petang di Kalibesar. Ya itu dulu...dulu sekali, tapi saya masih menyimpannya, menyimpannya untuk saat-saat seperti ini. Saat dimana saya kembali dipertemukan oleh nasib dengannya. Saat dimana saya kembali dibayang-bayangi oleh kecantikannnya. Saat ini...

***


Saat ini dia kembali hadir dalam hidup saya dengan sempurna. Dia berjalan dengan anggun, dengan pakaian kantor yang elegan, serta sepatu berhak tinggi yang membuat tungkai jenjangnya semakin terlihat menawan. Tubuhnya masih semampai. Matanya masih menyiratkan keinginan yang tertahan dengan malu-malu, dan aih aih bibirnya...bibir itu masih gempal dan menantang untuk segera dilumat. Serta jangan biarkan saya khilaf dengan tidak menyebutkan betapa ramping pinggangnya membuat saya berteriak kegirangan dalam hati.
Sudah sekian lama saya menunggu saat ini. Pertemuan yang kembali terulang di Kalibesar. Saat dimana saya akan kembali terobsesi. Saya hampir lupa sudah berapa lama. Entah dalam hitungan jari, entah ratusan hari, atau bahkan puluhan tahun, yang jelas saya setia menanti...

Saya setia menanti kedatangannya. Kedatangannya kembali ke dunia ini—dunia saya sendiri. Seperti separuh umat bumi yang menyakini kembalinya sang Putra Allah turun ke bumi. Maka saya ikrarkan jiwa untuk meyakini kedatangannya yang juga (pasti) kembali kedalam pusara hidup saya. Terkadang memang saya letih untuk berkeyakinan. Karena keyakinan memerlukan banyak sekali kepingan harap yang sulit sekali diproduksi. Tapi iming-iming hati akan kebahagiaan dan euphoria akan kedatangannya, membuat otak saya berhenti mengeluh. Meski seringpula hati saya mangkel dengan penantian tak berujung pangkal ini. Tokh hati adalah organ tersabar yang saya miliki. Saya pun kembali mencintainya. Cinta yang sudah ratusan kali jatuh di hati saya yang sabar ini. Cinta untuknya...

Cinta untuknya saya berikan pertama kali di pertemuan kami yang pertama. Saya ingat jelas saat itu. Dia berjalan dengan lemah gemulai dalam balutan pakaian yang aduhai membuat hati tuan segera bertanya-tanya siapa nama gerangan. Senyumnya malu-malu, bibirnya yang tebal dipulas gincu merah, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dia berjalan keluar dari toko obat dengan sedikit berjalan cepat, mungkin sesuatu membuatnya harus buru-buru sampai dirumah, mungkin juga salah satu anggota keluarganya membutuhkan ramuan obat yang ia beli barusan. Tidaklah penting perihal kepentingan nona manis itu, yang penting detik pertama saya melihatnya, detik itu pula saya berikan hati saya sepenuhnya pada nona tak bernama...

Nona tak bernama itu ternyata memiliki nama yang indah... Giok Hwan namanya, anak kedua dari babah penjual tembakau di daerah Glodok. Cerita lengkap mengenai Giok Hwan saya dapatkan dari kacung toko obat cina yang tempo hari ia kunjungi. Kacung itu bilang, Giok Hwan rutin 2 minggu sekali datang ke toko majikannya untuk menebus obat, obat yang dipakai Mami-nya untuk bertahan hidup. Kasihan nona manis itu, masih muda sudah harus menghadapi terik siang demi ibunya yang tak kalah menderita, andai saya dapat membantunya mengantar obat itu ke Glodok... saya rela sekali, selain saya dapat bertemu dengan pujaan hati, saya pun dapat mengurangi beban hidup kekasih tercinta.

Kekasih tercinta yang akhirnya jatuh ke pelukan. Betapa girang hati dibuatnya, tak percuma saya lantunkan do’a diam-diam, berharap Dewi Asmara segera menitah sang putra untuk segera menancapkan panah cinta tepat di dadanya. Di dadanya yang menyembulkan buah ajaib kesayangan Tuhan. Setelah ratusan kali saya layangkan jurus pandangan mata, pada suatu malam nona Giok Hwan menyatakan kesediaanya untuk bersanding bersama. Kebahagiaan saya tak terlukiskan, saya ajak Giok Hwan menikmati kota naik becak, saya manjakan dia dengan es Italia Ragusa bersaudara. Begitu bungah hati saya dibuatnya, melayang lepas ke udara bebas. Di tengah sengatan terik panas Jakarta pada Nopember 1964, saya mantapkan hati dalam sebuah keberuntungan. Keberuntungan yang terpatri kuat dalam ingatan akan kebahagiaan saya yang tidak bertahan lama...

Tidak bertahan lama seperti yang saya impikan sebelumnya. Sebelumnya sudah saya makhtubkan dalam hati untuk segera meminangnya menjadi pendamping. Usia saya sudah cukup mapan saat itu, lagipula usaha saya pun berkembang dengan pesat, tak ada alasan untuk menghalangi saya membangun mahligai rumah tangga bersama kekasih pujaan. Lagipula setiap kali melihat Giok Hwan, sisi kelaki-lakian saya mensyaratkan berahi tak tertahan, sementara di sisi lain saya ingin menjadi lelaki sejati yang mereguknya setelah ia berhasil saya peristri. Duh nona Giok Hwan, kenapa mereka tega memisahkan cinta kita yang tulus dan tak bercela ini. Saya tidak pernah tahu kenapa toko yang dibangun dinasti keluarga saya dengan jujur harus pula dibakar si jago merah. Mereka menyeret saya keluar dari toko, memukuli kepala saya, memukuli kepala orang-orang di sekeliling saya. Padahal saya tidak pernah berbuat jahat pada mereka yang memukuli saya, saya bahkan tidak membenci mereka, saya tidak mengenal mereka. Apa salah Papa dan Mama saya, atau bahkan apa salah saya sendiri. Kami hanya warga keturunan biasa seperti pula keluarga tionghoa yang lain. Saya bingung Giok Hwan, saya bingung kenapa semuanya terjadi begitu cepat, yang saya ingat hanya selebaran bergambar palu dan arit yang dibakar bersamaan dengan hangusnya toko kami. Sungguh hati saya tidak bermaksud mendustaimu, atau bahkan mengingkari janji suci kita. Saya masih akan selalu menanti nona, menantikan bunyi letusan petasan berkali-kali tanda kita melangkahkan kaki ke kehidupan baru...

Kehidupan baru yang akhirnya terpaksa saya jalani tanpa kamu. Setelah peristiwa nahas itu, saya hanya berharap seekor merpati dapat menyampaikan khabar kepergian saya dengan lembut. Supaya kamu tidak terlalu kalut menghadapi kehilangan saya. Maafkan saya Giok Hwan, bukan niat hati tuan meninggalkan nona sendirian dirundung duka. Jikalau tuan mampu, ingin tuan mengajak nona serta, sayang kini tuan berada jauh dari dunia.
Saya masih menyesali perbuatan saya. Saya menyesali kenapa tidak langsung meminangnya ketika ada kesempatan, kenapa harus terencana dan disusun matang. Namun saya percaya, akan ada kehidupan selanjutnya dimana saya dapat kembali bersua dengan nona pujaan hati. Nona saya yang mungkin nanti menjelma menjadi sesuatu yang tak mungkin. Tapi mungkin akan segera saya kenali sosoknya sebagai Giok Hwan...

***


Giok Hwan, itu dia Giok Hwan...saya tidak mungkin salah, dia adalah Giok Hwan yang sama dengan Giok Hwan yang dulu hendak saya pinang. Saya yang membantunya kembali hadir di alam fana. Akhirnya do’a saya terkabulkan sang Maha Kuasa. Giok Hwan lahir dengan sempurna, dia lahir seperti seharusnya, tidak ada satu pun cacat saya temukan. Kali ini saya tidak boleh terlambat lagi, namun tidak mungkin meminangnya saat ini, dia baru saja menjelma bayi manusia berusia 5 menit. Saya tetap harus menantinya, menantinya tumbuh besar menjadi manusia dewasa. Walau beda usia kami kini terpaut 25 tahun, dan saya sudah beranak dua, sudah saya bulatkan tekad untuk menikahinya kelak. Giok Hwan yang malang, takkan kubiarkan kamu kembali sendirian.

“bu bidan, anak saya sehat?”, tanya ibu Giok Hwan yang mukanya pucat.
“sehat”, jawab saya yang masih mengagumi kekasih saya itu.

Tak lama setelah jawaban saya ucapkan, perempuan yang mengantarkan kembali Giok Hwan ke pangkuan saya, menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya tahu ini pertanda jodoh bagi kami. Perempuan itu datang sendirian ke rumah saya, kandungannya yang besar sudah membuat ketubannya pecah, dia sudah pembukaan 3 waktu itu. Saya tanpa basa-basi menolongnya. Saya mengenal perempuan itu sebagai buruh cuci yang tinggal berhimpit di kampung belakang. Suaminya baru saja meninggal akibat tabrak lari, sedang anak-anaknya yang lain...entahlah, mungkin sudah dititipkan ke sanak famili mereka. Yang jelas dan saya tahu pasti, kini Giok Hwan tidak akan jauh-jauh dari saya lagi. (Seharusnya) dia tetap disini...

(Seharusnya) dia tetap disini. Tapi tidak...Giok Hwan, kamu sepertinya masih marah karena kepergian saya dulu. Dia kini pergi mendahului saya, saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Apakah kemarahanmu yang teramat sangat dibawa ke kehidupannya yang baru, ataukah karena gizi yang kurang diberikan si buruh cuci itu semasa hamil. Apapun alasannya, kini Giok Hwan yang cantik harus diambil Tuhan pada usianya yang baru saja 5 bulan. Saya kembali menyesali keterlambatan saya. Seharusnya saya nikahi saja dia ketika pertama kali mendengar jerit tangisnya, tak perlu berlama-lama menunggunya hingga tumbuh menjadi pemuda matang.
Duh Giok Hwan...kenapa, kenapakah sayang? kembali lagi nasib menanggalkan cinta kita di tengah jalan. Malang benar nasib ini dibuat Tuhan. Hendakkah kemalangan ini menjadi suatu kemujuran? Dan saya akan kembali berjumpa dengan nona pujaan hati saya...

Nona pujaan hati saya kini bersemayam dalam tubuh rupawan bernama Gertrude. Ia tinggal di rumah besar berpagar emas. Giok Hwan... tahukah kamu bahwa kecantikanmu yang abadi membawa saya pada petualangan cinta tak berdimensi. Begitu dalam rasa cinta yang saya miliki hingga tak hiraukan nasihat empunya waktu. Sepertinya kamu tak merasa serupa . Kamu hanya memandang saya dari kejauhan untuk kemudian melengos—menjauh sejauh mungkin. Tapi saya tetap berbahagia nona, paling tidak Yang Kuasa memberikan kenikmatan dunia dengan pertemuan kembali ini. Giok Hwan yang manis... sekarang walaupun amarahmu tak juga kunjung reda, saya harap kamu masih mengenali cinta tulus suci milik hati nan sabar ini. Ah nona...maafkanlah keterbatasan tuan. Saya sungguh bodoh hingga belum juga mampu kembali mempersuntingmu. Apalah saya ini, sedang kau hidup dalam gelimang kemewahan, saya terpaksa hidup dari belas kasihan manusia-manusia sekitar. Kalaulah nona sudi berhenti ngambek dan bersanding dengan saya, majikan nona belum tentu mengijinkan anjing betina Pomeranian-nya (begitu saya dengar manusia-manusia itu menyebut jenismu) kawin dengan asu buduk penuh kudis macam saya. Maafkanlah saya nona, maafkan karena berbagai Kamma yang saya tumpuk masih melahirkan Dukha dalam semesta kita yang tak terpetakan.


***


Saya ingat sekali dulu pernah bertemu dengan dia. Dulu sekali, tapi entah kapan, tapi saya yakin bahwa saya memang pernah bertemu dengan sosok itu. Saya masih ingat detail tubuhnya, saya bahkan masih ingat harum tubuhnya. Dan kini ketika saya kembali berpapasan dengannya dalam sebuah pertemuan tak sengaja, sayapun kembali melontarkan tatapan mata itu. Tatapan mata yang dulu sekali pernah membuatnya berdesir, terkulai, terlena, terajam panah asmara. Tatapan mata yang sebelumnya saya mintakan pada Eros untuk menghadiahkannya pada suatu petang di Kalibesar. Ya itu dulu...dulu sekali, tapi saya masih menyimpannya, menyimpannya untuk saat-saat seperti ini. Saat dimana saya kembali dipertemukan oleh nasib dengannya. Saat dimana saya kembali dibayang-bayangi oleh kecantikannnya. Saat ini...
Saat ini saya mantapkan hati untuk segera memintamu menjadi istri, ibu dari anak-anak saya kelak. Kamulah Giok Hwan yang ratusan tahun sudah saya nanti, dalam ribuan kali kehidupan saya mencintai sosokmu yang kelewat sempurna. Kini Giok Hwan...kini sudikah kamu saya peristri, untuk memenuhi janji yang belum sempat-sempat saya tepati. Saya tidak ingin terlambat Giok Hwan, saya tidak ingin memenuhi kewajiban untuk kembali menanti. Nona... bersediakah kamu menikah dan menjadi pasangan hidup saya yang abadi, bersediakah?!?

“heh mampus lu, dasar kecoak busuk!”.
“udah mati belom?”.
“udah, aku injek pake high heels”.

Ah Giok Hwan, nampaknya kamu memang masih marah...


*19’08’08
aroma deja-vu kota tua dan tegangan skripsi