Wednesday, March 10, 2010

grootegracht

Saya ingat sekali dulu pernah bertemu dengan dia. Dulu sekali, tapi entah kapan, tapi saya yakin bahwa saya memang pernah bertemu dengan sosok itu. Saya masih ingat detail tubuhnya, saya bahkan masih ingat harum tubuhnya. Dan kini ketika saya berpapasan dengannya dalam sebuah pertemuan tak sengaja, sayapun kembali melontarkan tatapan mata itu. Tatapan mata yang dulu sekali pernah membuatnya berdesir, terkulai, terlena, terajam panah asmara. Tatapan mata yang sebelumnya saya mintakan pada Eros untuk menghadiahkannya pada suatu petang di Kalibesar. Ya itu dulu...dulu sekali, tapi saya masih menyimpannya, menyimpannya untuk saat-saat seperti ini. Saat dimana saya kembali dipertemukan oleh nasib dengannya. Saat dimana saya kembali dibayang-bayangi oleh kecantikannnya. Saat ini...

***


Saat ini dia kembali hadir dalam hidup saya dengan sempurna. Dia berjalan dengan anggun, dengan pakaian kantor yang elegan, serta sepatu berhak tinggi yang membuat tungkai jenjangnya semakin terlihat menawan. Tubuhnya masih semampai. Matanya masih menyiratkan keinginan yang tertahan dengan malu-malu, dan aih aih bibirnya...bibir itu masih gempal dan menantang untuk segera dilumat. Serta jangan biarkan saya khilaf dengan tidak menyebutkan betapa ramping pinggangnya membuat saya berteriak kegirangan dalam hati.
Sudah sekian lama saya menunggu saat ini. Pertemuan yang kembali terulang di Kalibesar. Saat dimana saya akan kembali terobsesi. Saya hampir lupa sudah berapa lama. Entah dalam hitungan jari, entah ratusan hari, atau bahkan puluhan tahun, yang jelas saya setia menanti...

Saya setia menanti kedatangannya. Kedatangannya kembali ke dunia ini—dunia saya sendiri. Seperti separuh umat bumi yang menyakini kembalinya sang Putra Allah turun ke bumi. Maka saya ikrarkan jiwa untuk meyakini kedatangannya yang juga (pasti) kembali kedalam pusara hidup saya. Terkadang memang saya letih untuk berkeyakinan. Karena keyakinan memerlukan banyak sekali kepingan harap yang sulit sekali diproduksi. Tapi iming-iming hati akan kebahagiaan dan euphoria akan kedatangannya, membuat otak saya berhenti mengeluh. Meski seringpula hati saya mangkel dengan penantian tak berujung pangkal ini. Tokh hati adalah organ tersabar yang saya miliki. Saya pun kembali mencintainya. Cinta yang sudah ratusan kali jatuh di hati saya yang sabar ini. Cinta untuknya...

Cinta untuknya saya berikan pertama kali di pertemuan kami yang pertama. Saya ingat jelas saat itu. Dia berjalan dengan lemah gemulai dalam balutan pakaian yang aduhai membuat hati tuan segera bertanya-tanya siapa nama gerangan. Senyumnya malu-malu, bibirnya yang tebal dipulas gincu merah, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Dia berjalan keluar dari toko obat dengan sedikit berjalan cepat, mungkin sesuatu membuatnya harus buru-buru sampai dirumah, mungkin juga salah satu anggota keluarganya membutuhkan ramuan obat yang ia beli barusan. Tidaklah penting perihal kepentingan nona manis itu, yang penting detik pertama saya melihatnya, detik itu pula saya berikan hati saya sepenuhnya pada nona tak bernama...

Nona tak bernama itu ternyata memiliki nama yang indah... Giok Hwan namanya, anak kedua dari babah penjual tembakau di daerah Glodok. Cerita lengkap mengenai Giok Hwan saya dapatkan dari kacung toko obat cina yang tempo hari ia kunjungi. Kacung itu bilang, Giok Hwan rutin 2 minggu sekali datang ke toko majikannya untuk menebus obat, obat yang dipakai Mami-nya untuk bertahan hidup. Kasihan nona manis itu, masih muda sudah harus menghadapi terik siang demi ibunya yang tak kalah menderita, andai saya dapat membantunya mengantar obat itu ke Glodok... saya rela sekali, selain saya dapat bertemu dengan pujaan hati, saya pun dapat mengurangi beban hidup kekasih tercinta.

Kekasih tercinta yang akhirnya jatuh ke pelukan. Betapa girang hati dibuatnya, tak percuma saya lantunkan do’a diam-diam, berharap Dewi Asmara segera menitah sang putra untuk segera menancapkan panah cinta tepat di dadanya. Di dadanya yang menyembulkan buah ajaib kesayangan Tuhan. Setelah ratusan kali saya layangkan jurus pandangan mata, pada suatu malam nona Giok Hwan menyatakan kesediaanya untuk bersanding bersama. Kebahagiaan saya tak terlukiskan, saya ajak Giok Hwan menikmati kota naik becak, saya manjakan dia dengan es Italia Ragusa bersaudara. Begitu bungah hati saya dibuatnya, melayang lepas ke udara bebas. Di tengah sengatan terik panas Jakarta pada Nopember 1964, saya mantapkan hati dalam sebuah keberuntungan. Keberuntungan yang terpatri kuat dalam ingatan akan kebahagiaan saya yang tidak bertahan lama...

Tidak bertahan lama seperti yang saya impikan sebelumnya. Sebelumnya sudah saya makhtubkan dalam hati untuk segera meminangnya menjadi pendamping. Usia saya sudah cukup mapan saat itu, lagipula usaha saya pun berkembang dengan pesat, tak ada alasan untuk menghalangi saya membangun mahligai rumah tangga bersama kekasih pujaan. Lagipula setiap kali melihat Giok Hwan, sisi kelaki-lakian saya mensyaratkan berahi tak tertahan, sementara di sisi lain saya ingin menjadi lelaki sejati yang mereguknya setelah ia berhasil saya peristri. Duh nona Giok Hwan, kenapa mereka tega memisahkan cinta kita yang tulus dan tak bercela ini. Saya tidak pernah tahu kenapa toko yang dibangun dinasti keluarga saya dengan jujur harus pula dibakar si jago merah. Mereka menyeret saya keluar dari toko, memukuli kepala saya, memukuli kepala orang-orang di sekeliling saya. Padahal saya tidak pernah berbuat jahat pada mereka yang memukuli saya, saya bahkan tidak membenci mereka, saya tidak mengenal mereka. Apa salah Papa dan Mama saya, atau bahkan apa salah saya sendiri. Kami hanya warga keturunan biasa seperti pula keluarga tionghoa yang lain. Saya bingung Giok Hwan, saya bingung kenapa semuanya terjadi begitu cepat, yang saya ingat hanya selebaran bergambar palu dan arit yang dibakar bersamaan dengan hangusnya toko kami. Sungguh hati saya tidak bermaksud mendustaimu, atau bahkan mengingkari janji suci kita. Saya masih akan selalu menanti nona, menantikan bunyi letusan petasan berkali-kali tanda kita melangkahkan kaki ke kehidupan baru...

Kehidupan baru yang akhirnya terpaksa saya jalani tanpa kamu. Setelah peristiwa nahas itu, saya hanya berharap seekor merpati dapat menyampaikan khabar kepergian saya dengan lembut. Supaya kamu tidak terlalu kalut menghadapi kehilangan saya. Maafkan saya Giok Hwan, bukan niat hati tuan meninggalkan nona sendirian dirundung duka. Jikalau tuan mampu, ingin tuan mengajak nona serta, sayang kini tuan berada jauh dari dunia.
Saya masih menyesali perbuatan saya. Saya menyesali kenapa tidak langsung meminangnya ketika ada kesempatan, kenapa harus terencana dan disusun matang. Namun saya percaya, akan ada kehidupan selanjutnya dimana saya dapat kembali bersua dengan nona pujaan hati. Nona saya yang mungkin nanti menjelma menjadi sesuatu yang tak mungkin. Tapi mungkin akan segera saya kenali sosoknya sebagai Giok Hwan...

***


Giok Hwan, itu dia Giok Hwan...saya tidak mungkin salah, dia adalah Giok Hwan yang sama dengan Giok Hwan yang dulu hendak saya pinang. Saya yang membantunya kembali hadir di alam fana. Akhirnya do’a saya terkabulkan sang Maha Kuasa. Giok Hwan lahir dengan sempurna, dia lahir seperti seharusnya, tidak ada satu pun cacat saya temukan. Kali ini saya tidak boleh terlambat lagi, namun tidak mungkin meminangnya saat ini, dia baru saja menjelma bayi manusia berusia 5 menit. Saya tetap harus menantinya, menantinya tumbuh besar menjadi manusia dewasa. Walau beda usia kami kini terpaut 25 tahun, dan saya sudah beranak dua, sudah saya bulatkan tekad untuk menikahinya kelak. Giok Hwan yang malang, takkan kubiarkan kamu kembali sendirian.

“bu bidan, anak saya sehat?”, tanya ibu Giok Hwan yang mukanya pucat.
“sehat”, jawab saya yang masih mengagumi kekasih saya itu.

Tak lama setelah jawaban saya ucapkan, perempuan yang mengantarkan kembali Giok Hwan ke pangkuan saya, menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saya tahu ini pertanda jodoh bagi kami. Perempuan itu datang sendirian ke rumah saya, kandungannya yang besar sudah membuat ketubannya pecah, dia sudah pembukaan 3 waktu itu. Saya tanpa basa-basi menolongnya. Saya mengenal perempuan itu sebagai buruh cuci yang tinggal berhimpit di kampung belakang. Suaminya baru saja meninggal akibat tabrak lari, sedang anak-anaknya yang lain...entahlah, mungkin sudah dititipkan ke sanak famili mereka. Yang jelas dan saya tahu pasti, kini Giok Hwan tidak akan jauh-jauh dari saya lagi. (Seharusnya) dia tetap disini...

(Seharusnya) dia tetap disini. Tapi tidak...Giok Hwan, kamu sepertinya masih marah karena kepergian saya dulu. Dia kini pergi mendahului saya, saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Apakah kemarahanmu yang teramat sangat dibawa ke kehidupannya yang baru, ataukah karena gizi yang kurang diberikan si buruh cuci itu semasa hamil. Apapun alasannya, kini Giok Hwan yang cantik harus diambil Tuhan pada usianya yang baru saja 5 bulan. Saya kembali menyesali keterlambatan saya. Seharusnya saya nikahi saja dia ketika pertama kali mendengar jerit tangisnya, tak perlu berlama-lama menunggunya hingga tumbuh menjadi pemuda matang.
Duh Giok Hwan...kenapa, kenapakah sayang? kembali lagi nasib menanggalkan cinta kita di tengah jalan. Malang benar nasib ini dibuat Tuhan. Hendakkah kemalangan ini menjadi suatu kemujuran? Dan saya akan kembali berjumpa dengan nona pujaan hati saya...

Nona pujaan hati saya kini bersemayam dalam tubuh rupawan bernama Gertrude. Ia tinggal di rumah besar berpagar emas. Giok Hwan... tahukah kamu bahwa kecantikanmu yang abadi membawa saya pada petualangan cinta tak berdimensi. Begitu dalam rasa cinta yang saya miliki hingga tak hiraukan nasihat empunya waktu. Sepertinya kamu tak merasa serupa . Kamu hanya memandang saya dari kejauhan untuk kemudian melengos—menjauh sejauh mungkin. Tapi saya tetap berbahagia nona, paling tidak Yang Kuasa memberikan kenikmatan dunia dengan pertemuan kembali ini. Giok Hwan yang manis... sekarang walaupun amarahmu tak juga kunjung reda, saya harap kamu masih mengenali cinta tulus suci milik hati nan sabar ini. Ah nona...maafkanlah keterbatasan tuan. Saya sungguh bodoh hingga belum juga mampu kembali mempersuntingmu. Apalah saya ini, sedang kau hidup dalam gelimang kemewahan, saya terpaksa hidup dari belas kasihan manusia-manusia sekitar. Kalaulah nona sudi berhenti ngambek dan bersanding dengan saya, majikan nona belum tentu mengijinkan anjing betina Pomeranian-nya (begitu saya dengar manusia-manusia itu menyebut jenismu) kawin dengan asu buduk penuh kudis macam saya. Maafkanlah saya nona, maafkan karena berbagai Kamma yang saya tumpuk masih melahirkan Dukha dalam semesta kita yang tak terpetakan.


***


Saya ingat sekali dulu pernah bertemu dengan dia. Dulu sekali, tapi entah kapan, tapi saya yakin bahwa saya memang pernah bertemu dengan sosok itu. Saya masih ingat detail tubuhnya, saya bahkan masih ingat harum tubuhnya. Dan kini ketika saya kembali berpapasan dengannya dalam sebuah pertemuan tak sengaja, sayapun kembali melontarkan tatapan mata itu. Tatapan mata yang dulu sekali pernah membuatnya berdesir, terkulai, terlena, terajam panah asmara. Tatapan mata yang sebelumnya saya mintakan pada Eros untuk menghadiahkannya pada suatu petang di Kalibesar. Ya itu dulu...dulu sekali, tapi saya masih menyimpannya, menyimpannya untuk saat-saat seperti ini. Saat dimana saya kembali dipertemukan oleh nasib dengannya. Saat dimana saya kembali dibayang-bayangi oleh kecantikannnya. Saat ini...
Saat ini saya mantapkan hati untuk segera memintamu menjadi istri, ibu dari anak-anak saya kelak. Kamulah Giok Hwan yang ratusan tahun sudah saya nanti, dalam ribuan kali kehidupan saya mencintai sosokmu yang kelewat sempurna. Kini Giok Hwan...kini sudikah kamu saya peristri, untuk memenuhi janji yang belum sempat-sempat saya tepati. Saya tidak ingin terlambat Giok Hwan, saya tidak ingin memenuhi kewajiban untuk kembali menanti. Nona... bersediakah kamu menikah dan menjadi pasangan hidup saya yang abadi, bersediakah?!?

“heh mampus lu, dasar kecoak busuk!”.
“udah mati belom?”.
“udah, aku injek pake high heels”.

Ah Giok Hwan, nampaknya kamu memang masih marah...


*19’08’08
aroma deja-vu kota tua dan tegangan skripsi

No comments: