Wednesday, March 10, 2010

I LOVE YOU

padahal aku telah mengeja cinta
dari selongsong hatimu yang merah*

Kini dengarkan aku. Dengarkan aku walau cuma sekali. Dengarkan aku walau kau akui bahwa kini kau tuli—aku tak peduli. Iya sayang, aku tak peduli, bukan karena aku berhenti mencintai. Tidak tidak, tidak pernah sedikit pun terbersit di hatiku untuk berhenti mencintaimu. Tidak pernah sedikitpun aku berniat untuk berhenti mengagumi. Tidak sayang, jangan pernah bilang begitu...percayalah padaku, seperti sekian ratus kepercayaan yang kutanamkan dalam jiwamu.
Ingatkah kau pertama kali dulu. Waktu aku belum mengerti bagaimana caranya untuk mencintai. Ketika aku masih seranum buah mangga, saat aku masih hijau sekali. Kalau kau lupa, mari mengingatlah. Ingatlah aku saat itu, di pertemuan kita kali pertama. Kala usiamu sudah beranjak 25 sedang aku hanya gadis muda...kala kau mengajariku mengeja, mengeja cinta yang kautulis dalam dada.
Saat itu saat-saat yang indah bukan sayang. Kau mengajariku cara mengeja, tidak hanya mengeja kata-kata dalam rupa bahasa, kau juga mengajariku mengeja cinta yang rumit nan sederhana. Aku eja kalimat “i am student” setelah kau tulis kata-katanya di papan tulis hitam. Selanjutnya kueja kalimat “i love you” yang kaugunakan untuk merayu. Kau ajari aku mengeja cinta—aku belajar mengeja hatimu..

Jangan diam saja, belum cukupkah rangsangan yang kuberikan demi kembalinya semua memori itu?...baiklah kalau begitu, ini semua maumu!

“kumohon Marni...sadarlah”.

Tak perlu menyadarkan aku, sayang. Kesadaran membuatku kembali bisu. Maka jika kau ingin aku segera berubah kembali membatu...ingatlah padaku. Berpalinglah sayang. Tatap aku lekat-lekat seperti dulu. Ingatlah aku saat itu, saat usiaku baru saja 15...dan itu sekitar 20 tahun yang lalu.

20 tahun yang lalu, kau tiba-tiba saja datang. Kau tiba sebagai seorang guru yang diperbantukan di desa. Pembawaanmu yang halus. Kacamata kotakmu yang menyempurnakan garis-garis rahang itu. Serta tutur bahasa yang teratur membuatku terpukau dengan guru bahasa Inggris baruku.
Mulanya aku tak tahu bagaimana rupanya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Mulanya pun aku belum kenal rasanya jatuh cinta. Maka kau mengajariku, lewat les sepulang sekolah untuk membiasakan lidahku mengucap kalimat “yes, i do”—kau ajari aku untuk bercumbu.
Ingatkah kau sayang???Suatu petang kau datang ke bilik rumahku yang reyot, kau rayu bapak-ibuku untuk dapat mengajakku berjalan-jalan. Saat itu aku hanya gadis lugu. Gadis lugu yang tersipu malu. Dibelai rambutnya oleh pak guru, lalu merasakan lumatan nafsu dengan kaku.
Rambutku yang panjang sebahu...habis kauhirup (seperti kini kuhirup tar dan nikotin masuk paru-paru).
Pipiku yang sehalus bulir-bulir hujan di hari sabtu luluh kau ciumi.
Saat itu hatiku masih abu-abu. Aku belum mengenal apa itu batasan cinta dan nafsu. Namun kau membimbingku melewati setapak jalan berbatu.
Kau ingat kan, sayang?!?

“Marni...ini aku...ingatlah”.

Ya Tuhan...ya Bapaku...aku justru yang menginginkanmu mengingatku. Aku selalu mengingatmu, sayang. Betapa tidak...kau manusia pertama yang menjamahku, yang menodai kesucian air basuhanku. Kau datang di hidupku yang seharusnya berwarna merah, kuning, jingga, dan ungu. Kau datang dan merubah semua semarak warna menjadi lebih menyala. Kau membantuku sayang. Ingatkah?!?
Kau membantuku menyelesaikan PR. Kau membantuku membawa ibu ke rumah sakit. Kau membantuku melunasi hutang Bapak. Kau membantuku membayar sekolah Marno dan Mirah. Kau bahkan membantu kami untuk tetap bisa makan nasi...kau memang sangat murah hati, untuk itu aku teramat sangat mencinta—mencitaimu!
Cintamu mungkin sudah menggebu kala itu. Tapi cintaku ini ibarat bunga bermekaran. Berawal dari kuncup ketika pertama kau kecup halus pipiku. Lalu merekah ketika kau jamah buah dadaku. Hingga akhirnya mekar sempurna saat kau setubuhi aku.
Ingatlah betapa menggebu kau lucuti pakaianku satu per satu. Ingatlah semua janji manismu. Ingatlah saat kau berkata...”Marni, aku hanya ingin kamu yang menemani, jangan perempuan lain, hanya kamu seorang, only you”.
Ingatkah kau, sayang?...ayo ingatlah, ingat aku dalam tindihan beratmu yang ratusan kilo itu. Ingat aku yang merintih demi menahan rasa sakit sobekan selaput daraku. Ingatlah...kumohon ingatlah.

Aku pun begitu yakin kau mengingatnya...yakin sekali akan ingatanmu tentang itu
Jadi sekarang kau bersedia kan? Bersedia mengingat setiap detik waktu yang kita habiskan. Ayolah sayang, jangan membuatku kecewa.

(kukecup bibirmu sambil membelai lembut rambutmu!)

“Marni...sudahlah, aku lelah”

Aduh sayang. Bagaimana mungkin kau jadi loyo begini. Setahuku 20 tahun yang lalu, kau adalah pria tangguh pencuri keseluruhan jiwaku. Kau curi keperawananku. Kau curi masa mudaku. Kau curi keyakinanku. Kau curi aku...iya...jangan menggeleng, kau memang mencuriku.
Kenapa???
Kau tidak sadar telah mencuriku.
Kalau begitu biar kusegarkan ingatanmu.
Setelah peristiwa malam itu, lalu malam malam selanjutnya, disusul malam malam berikutnya, aku pun mengandung. Usiaku 16 tahun saat itu. Setelah kehamilanku bertambah besar, mau tak mau kau pun harus menikahiku. Mau tak mau aku pun dinikahimu.
Ya...aku memang dinikahimu. Dinikahi dengan pria yang usianya jauh diatasku. Mantan guru sekolah menengah pertamaku. Dengan keyakinan yang berlawanan denganku.
Saat itu aku menerimamu. Seperti menerima dengan pasrah keinginanmu untuk memaksaku mengubah panggilan Tuhan. Seperti menerima keinginamu untuk membuatku berhenti mengumandangkan doa dalam bahasa yang tak kau kenal. Seperti menerima kenyataan bahwa kini aku hanya perlu duduk bersimpuh untuk bertemu Tuhan. Aku sangat menerimamu, menerima kehadiranmu dihidupku. Menerima tindihan berat badanmu diatas tubuhku. Menerima tindihan berat bebanmu diatas hidupku

Jadi berbaik hatilah barang sedikit. Ingatlah dan tataplah aku seperti dulu. Seperti ketika kau remas payudaraku dengan gemas.

“Marni...demi Tuhan, ampuni aku”

Bukan aku yang seharusnya mengampunimu. Aku bukan Tuhan, aku belum pantas jadi Tuhan. Aku ini hanya manusia lemah berusia 30 tahunan yang habis kau serap sarinya. Aku ini hanya ibu 4 anak yang sibuk mondar-mandir kamar dan dapur. Aku bukan Tuhan—dan tidak ingin jadi Tuhan.
Akupun tak meminta pengampunanmu, sayang. Aku hanya meminta sedikit kesegaran ingatan. Ingatan indah tentang masa-masa kita yang silam. Masa-masa dimana kau merenggutku paksa. Masa-masa dimana akhirnya aku menyerahkan sepenuhnya tampuk kepemimpinan hidupku.
Ingatkah....
20 tahun yang lalu. Ketika kau nikahi aku. Bukan langgar dengan karpet hijau terhampar yang menjadi tempat kita bersumpah setia. Kau tuntun aku, bapak, ibu, serta Marno dan Mirah untuk duduk menghadap salib Tuhanmu.
Air suci terpercik di kepalaku, sebuah janji ikatan kulafalkan dalam satu keyakinan yang tak kupercaya. Percaya tak percaya, aku harus percaya. Aku harus mempercayai semua ajarannya dan menghapus semua ingatanku akan keyakinan yang selama ini kupegang teguh. Ini demi kau...demi kau...bukan demi kita.
Setelahnya kau bawa aku dalam rumah yang kausebut surga, sedang aku lebih suka menyebutnya neraka. Bagaimana tidak, di usiaku yang masih muda, aku harus mengurusmu juga ketiga adikmu yang beringas. Di usiaku yang sangat belia, aku sudah berperan ibarat ibu rumah tangga. Aku tersiksa saat itu, namun sudah kuhapus siksaan itu jauh-jauh dari hatiku. Itu semua karena aku mencintaimu.
(kembali kukecup wajahmu)
Lalu lahirlah bayi mungil itu. Bayi yang kauberi nama Wulandari. Wulandari yang manis itu lahir ketika bulan sedang bersolek dan bersinar penuh harapan. Wulandari harapan kita. Wulandari yang kupuja, Wulandari yang tak kau puja. Harapanmu seorang pria sejati keluar dari rahimku, sayang hanya seorang bayi ayu yang menangis kencang malam itu.

“Marni...apa yang kau katakan?!?”

Apa yang kukatakan. Aku mengatakan semua hal untuk membangkitkan ingatan. Ingatanmu akan aku, dan semua putri-putrimu. Iya...mereka semua berjenis kelamin perempuan, dan kau membencinya. Kau ingin anak laki-laki kan? Dari dulu kau ingin anak laki-laki. Karena itu kau membenci mereka. Membenci kelima gadis pujaanku. Ingatkah kau akan kebencian itu—satu demi satu???...jangan gelengkan kepalamu, jangan sanggah tuduhanku. Aku tahu kebenaran setiap fakta yang meluncur hari ini. Jadi mengapa harus mengelak. Mengapa kau membenci buah cinta kita? Mengapa???
Kau membencinya. Kau membenci anak-anak kita. Aku ingat betul pada malam kelahiran Setyorini—putri kedua kita. Kau bahkan enggan menatapnya. Romanmu berubah ketika ibu bidan menyerahkannya padamu. Lagi-lagi perempuan, bukan laki-laki seperti yang kau harapkan. Kau kecewa, kecewa akan kemampuanku beranak-pinak, kecewa akan pemberian bidadari-bidadari lucu itu. Kau bahkan kecewa karena mereka perempuan....kenapa sayang?. Padahal aku pun perempuan, tapi tapi kau memujaku. Ingatkah betapa kau memujaku, kau memujaku bagai cawan suci...cawan suci tempatmu menuang anggur perjamuan, anggur yang kaureguk habis tak bersisa. Lalu kenapa, kenapa kau membenci anak-anak kita???
Tapi semuanya belum usai, pertanyaanku masih akan sangat panjang. Bagaimana dengan Arumsari, bayi selanjutnya yang kulahirkan. Kau yang memintanya untuk ada. Tuhan mengabulkannya walau bukan dalam wujud pria. Aku pun berdoa, berdoa dengan cara yang kau ajarkan. Berlutut di bawah patung suci Bunda, memintanya untuk mengabulkan harapan suami tercinta...tapi tidak ada, tidak ada tangis bayi jantan dirumah kita. Ketiga anakku semuanya wanita.
Belum lelah mencoba, kau pun membuatku kembali mengisi perut. Tidak aku tidak lelah, walau jarak anak-anak kita hanya setahun. Walau aku harus membuncit tiap tahunnya dan menjerit kesakitan pada bulan ke-sembilan.
Kehamilanku yang keempat sedikit berbeda, mungkin karena sikapmu yang juga berbeda, atau karena tubuhku yang sudah jauh berbeda, ah sudahlah...yang penting saat itu begitu berbeda. Kau mengurangi rutinitas malam kita. Kau pun lebih sering mengeluh ini dan itu. Aku lebih sering mengharu biru...sampai Martini lahir. Iya...anak perempuan kita yang keempat, anak yang mati menahan beban karena tak tahan melihatmu begitu berambisi. Anak yang meninggal kelelahan karena aku tak sanggup membendung airmata, ia mati di usia dini—tujuh bulan.
Bagaimana sayang...ingatkah kau pada mereka sekarang?
Kenapa???...kenapa kau begitu tega, kau bahkan membiarkanku naik becak sendirian ketika harus kulahirkan Kesumah. Kenapa sayang???

“Marni...kau sudah gila”

(teriakanmu kuredam dengan ciuman sayang)

Aku tidak gila. Aku belum gila. Dan aku takkan gila.
Aku sangat waras. Sewaras ketika pertama kali kau lumat habis bibirku. Bibir yang kupakai untuk melafalkan ayat-ayat suci firman Tuhanku. Aku masih sadar. Sesadar ketika pertama kali kulihat kau melucuti pakaian Mirah. Iya aku tahu itu semua. Memangnya kenapa?. Kau heran kenapa sekian lama ini aku membisu. Tidakkah kau mengerti, aku ini hanya gadis desa tamatan SMP dengan empat anak yang harus diberi makan. Aku pula yang harus menanggung beban kebutuhan Bapak juga Ibuku. Kalau sampai kejadian yang terjadi antara kau dan Mirah sampai muncul ke permukaan, selain kau coreng mukaku, aku pun kehilangan satu-satunya sumber nafkah keluarga.
Aku belum mampu menghidupiku, menghidupi anak-anakku, menghidupi orangtuaku. Jadi aku diam seribu bahasa, meski aku tahu dengan jelas setiap bekas kerokan itu mengisyaratkan hubungan kalian yang terlarang
Jadi bagaimana, sayang? Ingatkah kau akan semua cerita ini. Cerita yang dengan sulit kurangkai dalam susunan kalimat tanpa terbata-bata. Luncuran kata-kata yang lugas keluar dari dalam dada. Ah aku lega...aku tak pernah bisa selancang ini padamu. Aku bungkam mulutku demi sebuah harga keutuhan keluarga.
Tapi sudahlah...aku malas untuk tetap mencinta dengan kepalsuan sempurna. Kau khianati aku dengan darah dagingku. Kau tolak jamahanku. Kau buat hatiku ngilu.
Dan sekarang aku hanya meminta kau mengingat. Mengingat setiap sentuhan, lenguhan, dan buaian yang kauberikan 20 tahun silam. Kembalikan semua milikku.
Ayo kembalikan memori tentangku.
Tentang paras ayu yang membuatmu memuja. Tentang rambut legam yang membuatmu terpana. Tentang wangi parfum murahan yang membuatmu terajam asmara. Tentang semuanya tentangku. Kembalikan padaku.
Jangan paksa aku berbuat keji padamu.
Ayolah sayang...cobalah, cobalah mengingat semua kenangan manis itu. Cobalah kembali berpaling padaku... coba terus meskipun kau harus kelelahan.

***

(Di luar sana terdengar teriakan dimana-dimana. Ada kebakaran mereka bilang, kau pun sama paniknya, sama takutnya, sama histerisnya melihat api yang tadinya hanya secercah dian. Tidakkah kau lihat wujud hatiku, sayang? Hampir mirip dengan api yang tersulut. Mulanya kau nyalakan redup, kini cahayanya justru membuatmu takut!)

“maafkan aku sayang, aku memintamu mengingat akan aku.”.
“Marni...kau bicara apa?aku suamimu...aku mencintaimu, sudah pasti aku mengingatmu”.

(Kupeluk tubuhmu yang sudah tak lagi kencang. Kubaui tengkukmu. Kusentuh jari-jemarimu yang mulai membiru. Ternyata aku masih sangat mencintaimu. Walau kau nodai ranjang pengatinku dengan darah perawan Mirah. Walau kau tolak aku ratusan kali untuk kembali mereguk nikmat. Walau kau tak lagi ada. Seperti ketenangan yang telah pergi begitu lama dari hidupku).

“aku merindukanmu.”.
“Marni...kita harus pergi”

(Seharusnya aku memang sudah pergi lama dari rumah ini. Bertindak egois dengan meninggalkanmu, anak-anak, juga ayah-ibu. Tapi tetap saja aku tak mau. Tak mau untuk meninggalkanmu. Tak mau untuk berhenti mengurus bidadari-bidadariku. Tak mau untuk menyakiti ayah-ibu. Aku tak mau...tak mau pula aku menyerahkanmu begitu saja pada adikku).

“apakah kamu benar-benar ingin pergi?”.
“kita memang harus pergi, lari bahkan?”

(Iya...kau benar. Aku seharusnya memang lari. Lari sejauh mungkin. Lari sekuat mungkin. Lari secepat mungkin. Semestinya dari dulu, dulu dulu sekali. Tapi aku bukan pelari yang tangguh, paling-paling baru sampai setengah pelarian, aku sudah tak tahan dan berputar arah kembali ke garis awal—mana bisa begitu!).

“sudahlah, kita dirumah saja. Kita tunggu Wulandari, Setyorini, Arumsari, juga Kesumah pulang study tur dari Borobudur”.
“Marrr...”

(kalimatmu terputus, seperti jalinan nadi kita yang juga terputus. Aku melayang lepas di udara sambil terus berusaha sekuat tenaga menggenggam jari-jemarimu yang terbujur kaku. Diluar sana kudengar orang-orang berteriak2, rumah kita memerah, api yang kusulut membara dan membungihanguskan bangunan laknat itu. Kini kau ingat kan sayang, betapa indah sekian kenangan kau pugar untukku. Kini kau kenang kan sayang, betapa menggembirakan sekian ratus cerita kurangkai untukmu. Kini kau percaya kan sayang, betapa aku mencintaimu sampai detik terakhir kita bernafas. Ini cintaku, ini hidupku, ini matiku!!!).
***

Lihat itu, sayang. Dibawah sana para tetangga bahu-membahu menggotong kita. Mirah menjerit-jerit seperti orang gila, bedebah kecil itu cukup tahu diri untuk teriak-teriak seperti pesakitan. Aku sudah tidak percaya lagi dengannya. Dan ini semua karenamu, aku kehilangan kasih sayangku karena sebegitu memujanya hatiku pada dirimu. Aku bahkan kehilangan kendali hidup saat kau bilang cintamu kini untuk adik bangsatku. Lebih baik kita melayang-layang tak tentu arah seperti ini. Lebih baik aku bawa kabur hatimu pergi jauh dari bumi. Lebih baik kita berdua bergenggaman erat sampai mati. Lebih baik begini.

Ingatkah kalimat pertama yang kau ajarkan padaku, sayang? (aku tersenyum). Aku yakin kau mengingatnya. Kata-kata dalam bahasa asing itu. Kata-kata yang membuat lidahku kelu. Kata yang kueja satu per satu dengan bantuanmu. Kau ingat???...duh senangnya, akhirnya kau mengangguk, anggukan tanda setuju yang 10 tahun mangkir dari hidupku.

kini
ejalah lagi
kini*

***

***totally inspired by “aku mengeja cinta, kau mengeja ragu”

*taken with permission (later) from Remy Soetansyah’s Poetry; “aku mengeja cinta, kau mengeja ragu”

No comments: