Ya bawa aku, siapapun yang telah sudi menuliskan penggalan kalimat ini, dan memberikan padaku—bawalah aku, sebelum aku jenuh dan berakhir beku, mati pengap minta udara segar. Selama ini himpitan kesengsaraan seakan menjegalku, menghantam setiap sudut tubuhku kala aku ingin berbaring sejenak—lepas dari semua superior yang kumiliki. Namun siapa, siapa yang sudi terima permohonanku,,, siapa yang sudi beriku mimpi lalu suguhkan nyata—bahkan ia yang menjadi Ayahku selalu menatap enggan ke arahku.
“Maaf... tadi disini ada yang lain gak selain kita”, tanyaku kepada salah satu junior yang kini sedang merapihkan rambutnya yang terkucir.
“perasaan cuma ada kita-kita sama situ, gak ada yang lain kok !”, jawabnya singkat.
“makasih yah”, balasku sambil lalu.
Apakah aku seperti mimpi saat kaubiarkan tubuhku menyatu denganmu—ujarnya berbisik ditengah riuhnya suara orang-orang yang berlalu-lalang sepanjang koridor fakultas, tidak_kau senyata jari jemariku—jawabku tanpa memandangnya, lalu kenapa kau ragukan keberadaanku, I’ve no doubt about you—ujarnya sekali lagi sambil membelai ujung rambutku, aku... aku bingung akan kalimat itu—jawabku sungkan, tak perlu kau risaukan_resapilah seperti air meresapi setiap gulir yang dibuatnya—katanya lalu mengecup leherku dan pergi lagi, entah kemana, aku menghiraukannya.
Aku tersadar ketika seseorang dari arah yang berlawanan, menjatuhkan semua buku-buku yang kubawa. Ia begitu rupawan—kecantikan dan ketampanan menjadi satu, melebur kedalam wajah penuh keteduhan, tersadar bahwa ia adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang pernah jatuh gila memelas sedikit kasih dariku... dari seorang Matahari !!! aku meneruskan langkahku, namun terhenti sejenak memandang kesejukan tatapan yang menyaru dalam kehitaman pekat bola matanya.
“same old shit Matahari huh ?!?”, ujarnya memandangku tanpa arti yang dapat kuruak.
“who the hell are you thinkin’ ???”, jawabku lunak namun keras.
“better person, but I might be wrong... U’ll never chance—nooit licht !!!”, ucapnya kali ini sambil berlalu.
Ayolah bangun... bangun dari kematian akan tidur panjang. Sudah terlalu lama kupendam segala hasrat untuk lepaskan yang harus terlepaskan. Kendati segala ilmu yang kupunya kukerahkan, alih-alih membuatku kuat, hanya berbalik tertawa atas kebodohan yang kubangun di hadapan istanaku sendiri. Darimana datangnya secarik kertas dengan kalimat penggugah semangat ini, darimana jika bukan dari tangan suci seseorang yang rela membantu melepaskan beban dalam vena tubuhku. Benarkah kau malaikat pelindungku ???? Atau bahkan jika kau hanya iblis malam yang dengan senang hati menginginkan jiwaku, akan kujual dengan penawaran terendah yang pernah ada. Lalu kemana perginya bayanganmu setiap kali kubutuhkan kali ini, mungkinkah malam-malam yang kita lewatkan bersama hanya salah satu dari angan konyol yang selama ini menuntunku menjadi seorang pemimpi yang taat. Aku ingin kau datang, memeluk erat tubuh usang yang selalu melas minta tenaga. Aku ingin kau datang, mencium setiap harum aroma tubuh yang keluar lewat semua panca indera yang kupunya. Aku ingin kau datang, mengambil apa yang hendak kaumiliki. Aku ingin kau datang,,,,, Ain’t You heard my scream !!!. Datanglah padaku kali ini bayangan, datanglah menjelang dahaga yang tercekat untuk kesekian kalinya.............
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
Jiwaku seakan tahu apa yang diharapkan oleh tuannya, tanpa sadar jari jemariku menulisi seluruh dinding kamarku dengan syair lantunan Al-Hallaj, sampai letih membekukan otot bisep dan trisepku. Seluruh dinding kini tertutup oleh kata-kata indah, refleksi do’a yang belum sempat kukatakan pada-Nya.
“Gadis gila !!! Apa yang kaulakukan dalam rumahku ???”, Ayahku datang disaat yang tak pernah sanggup kunantikan.
“Ini rumahku juga, rumah peninggalan ibuku, rumahku karena ini rumahmu, rumah Ayah !!!”, seruku lantang.
“Kau gila, pesakitan seperti Ibumu, aku tahu semenjak kutemukan kau dalam inkubator, kau pasti gila, kau mewarisi darahnya. Darah seorang pesakitan !!!”, Ayah membalas seruanku dengan kencang hampir membuat telingaku pecah.
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
“Lu pikir ini dunia punya engkong lu, bisa diputer balik seenak udel lu hah ?!!”, ujar sang pria besar penuh peluh dengan suara kencang.
“Bang... gue janji, gue gak bakal lari lagi Bang, tapi jangan siksa gue Bang, gue janji, gue gak bakal lari lagi...”, wanita itu kembali memelas.
“Lu kagak tau diutung, udah kita kasih makan dari orok, lu malah bikin malu kita, bikin malu keluarga, dasar betina !!!”, kali ini pria besar dengan wajah yang dipenuhi bulu janggut kasar menjambak wanita itu sambil memukulnya sekali lagi.
“Bang... maapin gue Bang, gue khilaf Bang... maapin gue Bang !!!”, wanita itu memohon sambil memegangi lutut pria besar dengan janggut kasar, tetapi ditendangnya perut wanita itu hingga jatuh terpelanting.
“Betina bunting... lu udah cacat !!! Kagak bakal bisa diapa-apain lagi...”, pria penuh peluh kembali berteriak.
Sedari tadi pria besar dengan jambang panjang dan wajah yang kelihatan selalu berseri hanya terdiam menatap kedua orang dihadapannya memukul dan menendang wanita itu. Aku meronta untuk menolong wanita tersebut, namun aku seakan tak kasat, aku bahkan tak bisa merasakan kulitnya, apakah aku sudah tiada, lalu siapa aku dan mengapa aku disini ??? Pikiran itu berkecamuk, namun kucoba hentikan untuk berkonsentrasi membantu wanita itu—walau hasilnya selalu nihil. Pria besar dengan jambang panjang yang hanya sumbang suara tawa itu sepertinya kukenal, ia tertawa diatas miris yang pekat kurasa.
“Bang Oddy... tolong gue Bang... tolong maapin gue, tolong kasih gue kesempatan...”, wanita itu meronta ke arah pria besar dengan jambang panjang, sayup-sayup kudengar ia memanggil lelaki itu dengan nama yang familiar di telingaku... Oddy... yah Oddy—nama Ayah !!!
Tapi mengapa ada Ayah disini, dan ia begitu tampak muda, tubuhnya yang gempal, kulitnya yang kuning cerah tak pernah kulihat sejak aku pertama kali melihat manusia di bumi ini, tidak pernah kulihat semenjak aku untuk pertama kalinya memanggilnya Ayah, walau satu kali-pun aku tidak pernah mendengar keinginannya untuk dipanggil Ayah.
“Lu minta tolong ama Bang Oddy juga percuma, ato lu mau minta tolong ama Tuhan sekalipun percuma Matahari... kagak bakal ada yang bisa nolong lu sekarang, kesalahan lu fatal, lu bunting dan lu kagak bakal bisa dijual sekarang....”, suara serak milik pria berjanggut membangunkanku dari lamunan selintas.
“Sekarang bilang sama gua Matahari... siapa yang bikin lu bunting, kagak mungkin pelanggan, kagak mungkin karna tiap kali lo selesai lo selalu minum jamu yang Bang Wira kasih, jadi siapa yang bikin lu bunting !??”, kali ini suara Ayah yang tampak marah terdengar, suaranya sangat tegas, suara pertama yang terdengar ketika aku pertama kali bisa mendengar.
“Kagak tau Bang, gue kagak tau siapa namanya... sumpah bang... gue kagak tau !!!”, jawab wanita itu sambil tersedu.
“Lu tuh tolol apa dongo... mana ada orang hamil tapi kagak tau siapa yang bikin. Siti Maryam aja tau kalo dia dibuntingin ama Tuhan !!! Masa lu kagak ?!?”, kali ini pria besar penuh peluh kembali geram dan meludahi wajah wanita itu.
Untuk pertama kalinya Matahari dengarkanlah aku, dengarkanlah ceritaku... tentang asal usulmu yang selalu kelabu. Mungkin sudah lama ingin kautanyakan padaku tapi kau sama seperti ibumu, memilih diam daripada harus menelan pil pahit deraan yang akan kuberikan. Aku—seperti yang selalu kuteriakkan padamu, bukanlah Ayah, bukan Ayah yang selama ini selalu kaupanggil Ayah, bukan Ayah yang spermanya menjadikanmu seorang manusia, bukan Ayah yang mencintai ibumu lalu melebur dan menjadikanmu. Aku pamanmu, kakak tiri ibumu... ibumu seperti juga ibuku dan kau adalah wanita pendiam, mungkin sebenarnya bukan keinginan mereka atau kau untuk menjadi diam, tapi kalian memilih diam untuk bertahan hidup. Ayahku seorang juragan cabai terkaya di desaku, kehidupanku dan kedua adikku bahagia sampai ibumu lahir di usiaku yang ke-25, terlahir saat usia Bapakku yang berusia 50 tahun sudah tidak mampu berereksi dan ibuku yang masih segar di usia 40 tahun, cantik, bertubuh gempal, berkulit halus sehalus kulitmu kini—ia yang seorang mantan penari ronggeng masih diminati oleh banyak pria, bahkan ketika ia sudah beranak tiga. Seluruh keluarga bingung, Bapakku yang impoten dan tak punya muka semenjak penyakit itu dideritanya—hanya menatap haru ke arah ibumu, bayi mungil berkulit bersih dan berhidung bangir, hingga akhir hayatnya setelah kematian ibuku yang berjuang keras melahirkan ibumu tanpa bantuan siapapun termasuk para babu, Bapak tidak pernah berbicara_tidak sepenggal kalimat-pun untuk menjelaskan kepadaku perihal ibumu. Cerita tentang ibumu yang lahir bukan sebagai darah daging Bapakku, kuketahui dari buku catatan ibuku—ibumu bukan anak siapapun, bukan dari lelaki manapun... ibumu dan kau entah anak dari pria mana. Bahkan ketika test DNA sudah kulakukan kepadamu, dalam darahmu sama seperti dalam darah ibumu, hanya mengandung satu darah... darah seorang anak tanpa Ayah.
Tiba-tiba kudengar suara-suara kecil mengumandangkan kalimat itu, kalimat yang selama ini menemaniku habisi hari-hari terakhir masa penantianku. Suara Ayah yang tadi sekan meninabobokanku dalam impian dan seluruh rasa keingintahuan yang mulai menguasai hidupku, kini serasa menjauh dan menyatu dengan suara udara yang terdengar riuh. Apakah tadi hanya mimpi dan dimanakah aku sekarang, mengapa aku ada disini... berada didalam ruang kosong bertembok putih dengan hanya satu ranjang dan meja disebelahnya, jendela kecil disudut ruangan pancarkan sedikit sinar dan hembuskan udara walau hanya sisa dari udara lain diluar sana. Pintu besar yang terbuat dari besi, berdiri kokoh dihadapanku, kucoba membukanya namun pintu itu tertutup rapat seakan menutup usai seluruh hubunganku dengan alam diluar sana. Ingin aku berteriak, berharap seseorang akan membukanya dan melepaskanku pergi, tetapi sekali lagi, kata-kata itu selalu tercekat dan tertahan diujung lidah. Aku takkan mampu keluar dari sini, dan biarlah kunikmati keterkekangan ini sekali lagi. Melantunkan do’a demi do’a, berharap tebalnya tembok kekang ini menembus langit tingkat ketujuh...
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –
too many knots are tied
too many lips have lied
too many times I've tried
too many voices inside
No comments:
Post a Comment