Wednesday, May 23, 2007

L E B U R


Secarik kertas kutemukan dalam lipatan pakaian dalamku di lemari, entah tulisan siapa? Atau kiriman siapa?, tapi siapa yang berani menaruh secarik kertas dalam pakaian dalam yang terlipat rapih oleh si bibi.... mana mungkin si bibi iseng mengirimkan penggalan kalimat itu kepadaku dalam balutan pakaian dalam. Ah... aku bingung, benar-benar bingung... lalu mulai menggumamkan kata perkata dalam kalimat tersebut, karena matahari takkan bersinar selamanya—kenapa kalimat ini begitu familiar di telingaku, seakan telah berulang kali kudengar seseorang berbisik di telingaku, tapi siapa? Mengapa bisa aku terbangun pagi ini lalu lupa, lupa akan apa? Akan segalanya yang terjadi semalam.

Malam ini begitu gelap, dan bulan temaram bertengger indah dalam langit yang hanya didominasi satu warna,,, biru pekat !!! Begitu senyap dan sunyi, seperti hari kemarin, aku hanya termangu menatap bulan yang tak bosan bosannya berganti shift jaga dengan matahari. Tepat jam 9 malam, kutemukan sesuatu dalam keremangan lampu taman, ia bernyawa dan berputar tanpa henti, raut wajahnya mengulas senyum nyaman yang selalu kuinginkan, lebur tariannya merajah hingga hatiku terasa sesak akan bahagia yang terlalu meluap-luap, seakan tak pernah lagi aku hidup dan merasakan segala kebodohan lakon duniawi yang disutradarai-Nya jauh dari sana. Kuhampiri ia yang kini menghimpitkan seluruh permukaan tubuhnya ke badanku. Kami menari bersama, tarian indah yang bahkan tak pernah kusadari keberadaannya, dalam temaram cahaya bulan kulihat wajahnya yang begitu kudus menjiwai tarian kami, himpitan tubuhnya semakin lekat hingga bisa kuhirup harum aroma tubuhnya, pheromon yang kuat darinya membangkitkan birahi yang telah kian lama kupendam, kurabarasakan seluruh sentuhan yang membuatku kian jatuh tak bernyawa, diam dan rasakanlah—bisiknya lembut, hanya itu yang ingin aku dapatkan darimu malam ini—lanjutnya, mengapa hanya satu malam—tanyaku gusar, jangan bodoh aku datang setiap malam—jawabnya, tapi tak pernah kautemukan karena kau selalu menampik kehadiran sesuatu yang lain selain dirimu—lanjutnya seraya menempelkan bibirnya yang lembut ke bibirku, menciumnya kuat dan bernafsu, nafasku dan nafasnya melebur dalam satu tarian yang tak ingin kuselesaikan. Birahi ini tak ingin kuselesaikan, aku ingin terus melakukannya, bersamanya, lenguhan kami seakan melodi indah yang selama ini ingin kualunkan dalam hidupku. Himpitan tubuhnya semakin kurasakan, dan ketika kami akhirnya menjadi benar-benar satu, ia lenyap, masuk kedalam tubuhku, menggeliat geli. MELEBUR !!!




Kalimat itu kini datang lagi setelah sekian kenangan yang hampir musnah satu persatu dalam hidupku. Setiap malam yang kulewati seakan seperti... bahkan hembusan angin pun dapat kurasakan kehadirannya. Kini kalimat itu hadir dalam buku catatan kuliahku, terselip diantara sejumlah teori-teori busuk akan pembenaran kejahatan, yang sesungguhnya hanya salah satu dari bentuk terkikisnya humanisme seorang manusia. Dan aku salah satu dari mereka , mereka yang membenarkan teori pembenaran akan segala sesuatu yang absurd di dunia. Kubaca lagi kalimat tersebut, rasa penasaran seakan kembali membuncah dalam otakku kini. Ingin kuhiraukan saja, tapi ia selalu berhasil datang kala proses pencucian otak ini berhasil. Namun kalimat itu beriku sejuta harapan yang selama ini aku cari, entah mengapa, ia seperti menggelitik sudut hatiku yang tertutup rapat akan keajaiban, mungkinkah ini pertanda usainya penderitaanku selama ini, tapi mana mungkin Tuhan beriku signal, Ia tidak hanya mengurusi satu mahluk, terlalu banyak justru—sehingga aku hanya satu dari sekian kutu busuk yang diperalat untuk mewujudkan ide kreatif-Nya setiap hari.

Dalam kesenyapan heningku di ruangan tertutup tempat dimana para manusia biasa menguras segala sampah hasil olah tubuhnya, kutemukan kembali ia yang selalu hadir ditengah segala kekuduskan yang aku alami. Kini ia berada diseberangku, tepat dihadapan cermin yang kutatap, wajahnya yang terkena pancaran lampu menyiratkan sejuta makna yang hendak kutanyakan namun tertahan di ujung lidah—riskan untuk terucap. Dalam alunan yang kami ciptakan, ia kembali mengajakku menikmati melodi lara yang selama ini mengungkungku atas segala hasrat, menuntunku melepas semua kenangan akan ketakutan yang tertoreh jelas dalam alur tubuhku. Lepaskan—kembali kunikmati suaranya. Apa yang harus terlepas, biarlah lepas—ujarnya kembali. Aku tidak perlu melepaskan apapun—jawabku angkuh. Aku Matahari_aku dibutuhkan alih-alih membutuhkan—lanjutku. Namun ia terdiam dan menyenandungkan kata atas sepenggal kalimat yang selalu terngiang dalam sepanjang hariku. Karena Matahari takkan bersinar selamanya... gumamnya lirih tetapi membangkitkan gairahku. Siapakah engkau, dengan segenap hasrat penantian, hadirmu seakan selalu kuimpikan, tapi mengapa hanya kau satu-satunya yang beriku kebebasan dan pemenuhan kebutuhan, bukankah aku Matahari_lalu mengapa aku membutuhkanmu. Kau tak mungkin Lucifer, atau Brahman, kau hanya seseorang yang selalu kunantikan. Manusia yang bantuku lepas semua beban di pundakku. Bantu aku, tarik aku dari segala angkuh yang selama ini merajaiku...........................

Tawa sekumpulan junior dalam bilik toilet membangunkanku dari... apa yang tadi kulakukan, aku seakan kehilangan satu jam waktu dalam hidupku. Ingin kupaksakan otak dan segenap organ dalam tubuhku untuk mengingatkan kemana perginya waktu selama satu jam. Namun mereka seakan enggan, dan hanya berkata biarlah yang hilang seperti hilang, tak perlu kucemaskan kemana perginya waktu, kala ia tidak mengijinkan untuk diketahui. Namun dalam genggamanku kembali kutemukan secarik kertas penggalan kalimat itu, kini tepat dalam genggamanku, kertas putih lusuh bertoreh tinta hitam. Sepenggal kalimat yang selalu datang secara mistrerius dalam hidupku. Kenapa? Apa yang terjadi denganku? Mungkinkah aku sudah gila? Seperti yang selalu dikatakan Ayah... aku mewarisi darah ibuku—darah seorang pesakitan.



Ya bawa aku, siapapun yang telah sudi menuliskan penggalan kalimat ini, dan memberikan padaku—bawalah aku, sebelum aku jenuh dan berakhir beku, mati pengap minta udara segar. Selama ini himpitan kesengsaraan seakan menjegalku, menghantam setiap sudut tubuhku kala aku ingin berbaring sejenak—lepas dari semua superior yang kumiliki. Namun siapa, siapa yang sudi terima permohonanku,,, siapa yang sudi beriku mimpi lalu suguhkan nyata—bahkan ia yang menjadi Ayahku selalu menatap enggan ke arahku.

“Maaf... tadi disini ada yang lain gak selain kita”, tanyaku kepada salah satu junior yang kini sedang merapihkan rambutnya yang terkucir.

“perasaan cuma ada kita-kita sama situ, gak ada yang lain kok !”, jawabnya singkat.

“makasih yah”, balasku sambil lalu.

Benarkah hanya ada aku dan mereka, tapi aku melihatnya, aku merasakannya, senyata kertas yang kuremas dalam genggamanku saat ini, tapi mengapa mereka berkata ia tak ada... ataukah ia hanya bayanganku saja, My other imagination !!!

Apakah aku seperti mimpi saat kaubiarkan tubuhku menyatu denganmu—ujarnya berbisik ditengah riuhnya suara orang-orang yang berlalu-lalang sepanjang koridor fakultas, tidak_kau senyata jari jemariku—jawabku tanpa memandangnya, lalu kenapa kau ragukan keberadaanku, I’ve no doubt about you—ujarnya sekali lagi sambil membelai ujung rambutku, aku... aku bingung akan kalimat itu—jawabku sungkan, tak perlu kau risaukan_resapilah seperti air meresapi setiap gulir yang dibuatnya—katanya lalu mengecup leherku dan pergi lagi, entah kemana, aku menghiraukannya.

Aku tersadar ketika seseorang dari arah yang berlawanan, menjatuhkan semua buku-buku yang kubawa. Ia begitu rupawan—kecantikan dan ketampanan menjadi satu, melebur kedalam wajah penuh keteduhan, tersadar bahwa ia adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang pernah jatuh gila memelas sedikit kasih dariku... dari seorang Matahari !!! aku meneruskan langkahku, namun terhenti sejenak memandang kesejukan tatapan yang menyaru dalam kehitaman pekat bola matanya.

same old shit Matahari huh ?!?”, ujarnya memandangku tanpa arti yang dapat kuruak.

who the hell are you thinkin’ ???”, jawabku lunak namun keras.

better person, but I might be wrong... U’ll never chance—nooit licht !!!”, ucapnya kali ini sambil berlalu.

Ingin kukerahkan segala tenaga untuk menutup usai semua keangkuhan yang hampir merajam setiap inchi napas dan kata-kata yang keluar dan mengalir dari lubang kehidupan. Namun semua kemampuan yang kupugar hanya bertahan sebentar hingga akhirnya jatuh runtuh di hadapan otak kananku. I’am Same Old Shit Matahari, never chance !!! karena takkan adalah sumpah mati seumur hidup.

+ + +


Ayolah bangun... bangun dari kematian akan tidur panjang. Sudah terlalu lama kupendam segala hasrat untuk lepaskan yang harus terlepaskan. Kendati segala ilmu yang kupunya kukerahkan, alih-alih membuatku kuat, hanya berbalik tertawa atas kebodohan yang kubangun di hadapan istanaku sendiri. Darimana datangnya secarik kertas dengan kalimat penggugah semangat ini, darimana jika bukan dari tangan suci seseorang yang rela membantu melepaskan beban dalam vena tubuhku. Benarkah kau malaikat pelindungku ???? Atau bahkan jika kau hanya iblis malam yang dengan senang hati menginginkan jiwaku, akan kujual dengan penawaran terendah yang pernah ada. Lalu kemana perginya bayanganmu setiap kali kubutuhkan kali ini, mungkinkah malam-malam yang kita lewatkan bersama hanya salah satu dari angan konyol yang selama ini menuntunku menjadi seorang pemimpi yang taat. Aku ingin kau datang, memeluk erat tubuh usang yang selalu melas minta tenaga. Aku ingin kau datang, mencium setiap harum aroma tubuh yang keluar lewat semua panca indera yang kupunya. Aku ingin kau datang, mengambil apa yang hendak kaumiliki. Aku ingin kau datang,,,,, Ain’t You heard my scream !!!. Datanglah padaku kali ini bayangan, datanglah menjelang dahaga yang tercekat untuk kesekian kalinya.............
Cukup... bahkan langit ketujuh terusik karena teriakanmu—kini kau datang dengan datar, kemana kau pergi ?—tanyaku, kedalam sukmamu—jawabnya diam namun terlintas dari mata yang menohok ulu hatiku, bohong !!!—ucapku mendekat dan menyetuh ujung jemarinya, kalau ada dalam sukma, kau bisa kukendalikan seperti yang lain, pikirku. I’am over controlled_kerena hendakmu bukan inginku—ucapnya seakan membaca lubuk hatiku, kau tahu apa yang tak terucap—tanyaku, karena aku adalah kamu_karena kita adalah satu... satu takkan terbelah walau mungkin terpecah—jawabnya disusul dengan keheningan dan rasa kehilangan yang semakin meraja. Ia pergi lagi, masuk kedalam entah darimana, entah lewat celah yang mana, bahkan aku awam dengan anatomi tubuhku.

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku – *

Jiwaku seakan tahu apa yang diharapkan oleh tuannya, tanpa sadar jari jemariku menulisi seluruh dinding kamarku dengan syair lantunan Al-Hallaj, sampai letih membekukan otot bisep dan trisepku. Seluruh dinding kini tertutup oleh kata-kata indah, refleksi do’a yang belum sempat kukatakan pada-Nya.

“Gadis gila !!! Apa yang kaulakukan dalam rumahku ???”, Ayahku datang disaat yang tak pernah sanggup kunantikan.

“Ini rumahku juga, rumah peninggalan ibuku, rumahku karena ini rumahmu, rumah Ayah !!!”, seruku lantang.

“Kau gila, pesakitan seperti Ibumu, aku tahu semenjak kutemukan kau dalam inkubator, kau pasti gila, kau mewarisi darahnya. Darah seorang pesakitan !!!”, Ayah membalas seruanku dengan kencang hampir membuat telingaku pecah.

“Tapi aku mewarisimu, aku mewarisi legam rambutmu, aku anakmu, anak yang entah mengapa enggan kausentuh... Aku Matahari Ayah, Matahari yang akan bersinar selamanya !!!”, kukatakan ini dengan tegas seraya beringsut pergi meninggalkan Ayah dalam gamang, sunyi meliputi seluruh bangunan indah yang kusebut rumah selama 24 tahun, sepi... disini sepi, aku pengap Tuhan, aku sudah tak tahan, ambil aku sebelum membujur dalam balutan kemewahan semu yang kuelakkan.

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

Do’a itu kembali kulantunkan, ditengan sergapan seluruh bodyguard Ayah, yang kini menyeretku menuju mobil putih yang berpendar-pendar pada bagian atasnya, tak dapat kuingat apa yang kulakukan, mereka datang lalu memberiku suntikan hingga ku terasa ringan, terbang menuju keabadian sementara, tempatku singgah menuju hidup yang sempurna. Lalu kau datang lagi dengan senyum sejuk disebelahku, membisikkan sedikit kata cinta untuk selanjutnya mengecup keningku. Aku lelah, aku minta udara, aku susah aku merana !!! Kemana Matahari yang dulu ada, kemana diriku pergi ???




Tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutku yang selalu tercekat... kau bilang aku akan pergi, dibawa jauh dimana tak seorang-pun mengenalku. Berhenti bersinar untuk rasakan sinar dari dua sisi dunia. Benarkah ?!? aku skeptis ada yang sanggup bawaku pergi dari dunia yang selalu menguras seluruh kalor yang kumiliki,,, tidak... takkan ada yang berdusta dengan Matahari, tidak jika mereka masih membutuhkanku dan belum menemukan penggantiku.

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

Pandanganku kabur, kakiku lemas seakan sudah berjam-jam aku berdiri disini, di jalan setapak sepi yang tak ada seorangpun beraktifitas disini. Kepalaku pusing bukan kepalang, degup jantungku berirama tak beraturan, sepertinya sepersekian detik kemudian jantungku lepas dan luluh lantak di tanah merah yang kuinjak. Lalu kulihat suara deru kendaraan dari kejauhan, kulihat seorang wanita diantara 3 pria bertubuh kekar, mereka seperti sedang bernegosiasi, kuhampiri namun mereka acuh, menghiraukan kata-kataku yang musnah tertelan debu dan udara. Wanita itu memohon, minta diberi kesempatan sekali lagi, pria-pria besar tertawa—hampir kaget aku dibuatnya, tawa mereka penuh laknat dunia. Wanita itu kembali memohon, memohon untuk diberi kesempatan kedua kali, pria-pria besar itu kembali tertawa, namun salah satu dari pria besar yang wajahnya bermandikan peluh menghampiri lalu memukul wanita itu.

“Lu pikir ini dunia punya engkong lu, bisa diputer balik seenak udel lu hah ?!!”, ujar sang pria besar penuh peluh dengan suara kencang.

“Bang... gue janji, gue gak bakal lari lagi Bang, tapi jangan siksa gue Bang, gue janji, gue gak bakal lari lagi...”, wanita itu kembali memelas.

“Lu kagak tau diutung, udah kita kasih makan dari orok, lu malah bikin malu kita, bikin malu keluarga, dasar betina !!!”, kali ini pria besar dengan wajah yang dipenuhi bulu janggut kasar menjambak wanita itu sambil memukulnya sekali lagi.

“Bang... maapin gue Bang, gue khilaf Bang... maapin gue Bang !!!”, wanita itu memohon sambil memegangi lutut pria besar dengan janggut kasar, tetapi ditendangnya perut wanita itu hingga jatuh terpelanting.

“Betina bunting... lu udah cacat !!! Kagak bakal bisa diapa-apain lagi...”, pria penuh peluh kembali berteriak.

Sedari tadi pria besar dengan jambang panjang dan wajah yang kelihatan selalu berseri hanya terdiam menatap kedua orang dihadapannya memukul dan menendang wanita itu. Aku meronta untuk menolong wanita tersebut, namun aku seakan tak kasat, aku bahkan tak bisa merasakan kulitnya, apakah aku sudah tiada, lalu siapa aku dan mengapa aku disini ??? Pikiran itu berkecamuk, namun kucoba hentikan untuk berkonsentrasi membantu wanita itu—walau hasilnya selalu nihil. Pria besar dengan jambang panjang yang hanya sumbang suara tawa itu sepertinya kukenal, ia tertawa diatas miris yang pekat kurasa.

“Bang Oddy... tolong gue Bang... tolong maapin gue, tolong kasih gue kesempatan...”, wanita itu meronta ke arah pria besar dengan jambang panjang, sayup-sayup kudengar ia memanggil lelaki itu dengan nama yang familiar di telingaku... Oddy... yah Oddy—nama Ayah !!!

Tapi mengapa ada Ayah disini, dan ia begitu tampak muda, tubuhnya yang gempal, kulitnya yang kuning cerah tak pernah kulihat sejak aku pertama kali melihat manusia di bumi ini, tidak pernah kulihat semenjak aku untuk pertama kalinya memanggilnya Ayah, walau satu kali-pun aku tidak pernah mendengar keinginannya untuk dipanggil Ayah.

“Lu minta tolong ama Bang Oddy juga percuma, ato lu mau minta tolong ama Tuhan sekalipun percuma Matahari... kagak bakal ada yang bisa nolong lu sekarang, kesalahan lu fatal, lu bunting dan lu kagak bakal bisa dijual sekarang....”, suara serak milik pria berjanggut membangunkanku dari lamunan selintas.

“Sekarang bilang sama gua Matahari... siapa yang bikin lu bunting, kagak mungkin pelanggan, kagak mungkin karna tiap kali lo selesai lo selalu minum jamu yang Bang Wira kasih, jadi siapa yang bikin lu bunting !??”, kali ini suara Ayah yang tampak marah terdengar, suaranya sangat tegas, suara pertama yang terdengar ketika aku pertama kali bisa mendengar.

“Kagak tau Bang, gue kagak tau siapa namanya... sumpah bang... gue kagak tau !!!”, jawab wanita itu sambil tersedu.

“Lu tuh tolol apa dongo... mana ada orang hamil tapi kagak tau siapa yang bikin. Siti Maryam aja tau kalo dia dibuntingin ama Tuhan !!! Masa lu kagak ?!?”, kali ini pria besar penuh peluh kembali geram dan meludahi wajah wanita itu.

Tiba-tiba Bang Oddy yang sedari tadi hanya berpangku tangan mendekat ke arah wanita itu dan memukulnya keras, sangat keras sehingga aku seakan merasakan kesakitan yang dialaminya, pukulan itu membuat wanita itu terhuyung dan jatuh terbujur penuh darah, merintih minta sedikit tenaga pada Tuhan, namun Ia sedang sibuk entah dengan siapa, karna sampai detik semua penglihatanku mengabur, rasa sakit dan pilu wanita yang bernama sama denganku itu tetap menyesakkan dadaku.

Untuk pertama kalinya Matahari dengarkanlah aku, dengarkanlah ceritaku... tentang asal usulmu yang selalu kelabu. Mungkin sudah lama ingin kautanyakan padaku tapi kau sama seperti ibumu, memilih diam daripada harus menelan pil pahit deraan yang akan kuberikan. Aku—seperti yang selalu kuteriakkan padamu, bukanlah Ayah, bukan Ayah yang selama ini selalu kaupanggil Ayah, bukan Ayah yang spermanya menjadikanmu seorang manusia, bukan Ayah yang mencintai ibumu lalu melebur dan menjadikanmu. Aku pamanmu, kakak tiri ibumu... ibumu seperti juga ibuku dan kau adalah wanita pendiam, mungkin sebenarnya bukan keinginan mereka atau kau untuk menjadi diam, tapi kalian memilih diam untuk bertahan hidup. Ayahku seorang juragan cabai terkaya di desaku, kehidupanku dan kedua adikku bahagia sampai ibumu lahir di usiaku yang ke-25, terlahir saat usia Bapakku yang berusia 50 tahun sudah tidak mampu berereksi dan ibuku yang masih segar di usia 40 tahun, cantik, bertubuh gempal, berkulit halus sehalus kulitmu kini—ia yang seorang mantan penari ronggeng masih diminati oleh banyak pria, bahkan ketika ia sudah beranak tiga. Seluruh keluarga bingung, Bapakku yang impoten dan tak punya muka semenjak penyakit itu dideritanya—hanya menatap haru ke arah ibumu, bayi mungil berkulit bersih dan berhidung bangir, hingga akhir hayatnya setelah kematian ibuku yang berjuang keras melahirkan ibumu tanpa bantuan siapapun termasuk para babu, Bapak tidak pernah berbicara_tidak sepenggal kalimat-pun untuk menjelaskan kepadaku perihal ibumu. Cerita tentang ibumu yang lahir bukan sebagai darah daging Bapakku, kuketahui dari buku catatan ibuku—ibumu bukan anak siapapun, bukan dari lelaki manapun... ibumu dan kau entah anak dari pria mana. Bahkan ketika test DNA sudah kulakukan kepadamu, dalam darahmu sama seperti dalam darah ibumu, hanya mengandung satu darah... darah seorang anak tanpa Ayah.




Tiba-tiba kudengar suara-suara kecil mengumandangkan kalimat itu, kalimat yang selama ini menemaniku habisi hari-hari terakhir masa penantianku. Suara Ayah yang tadi sekan meninabobokanku dalam impian dan seluruh rasa keingintahuan yang mulai menguasai hidupku, kini serasa menjauh dan menyatu dengan suara udara yang terdengar riuh. Apakah tadi hanya mimpi dan dimanakah aku sekarang, mengapa aku ada disini... berada didalam ruang kosong bertembok putih dengan hanya satu ranjang dan meja disebelahnya, jendela kecil disudut ruangan pancarkan sedikit sinar dan hembuskan udara walau hanya sisa dari udara lain diluar sana. Pintu besar yang terbuat dari besi, berdiri kokoh dihadapanku, kucoba membukanya namun pintu itu tertutup rapat seakan menutup usai seluruh hubunganku dengan alam diluar sana. Ingin aku berteriak, berharap seseorang akan membukanya dan melepaskanku pergi, tetapi sekali lagi, kata-kata itu selalu tercekat dan tertahan diujung lidah. Aku takkan mampu keluar dari sini, dan biarlah kunikmati keterkekangan ini sekali lagi. Melantunkan do’a demi do’a, berharap tebalnya tembok kekang ini menembus langit tingkat ketujuh...

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

-jadikanlah diriku seperti sebelum Kau jadikan diriku –

Kumohon maafkan aku Matahari—bayangan kembali datang dan mengecup keningku. Maaf ?!? atas apa ???—tanyaku. Karena hanya sampai disini aku ada—jawabnya kaku tanpa menoleh padaku. Mengapa—kini aku berubah tegang dan takut. Karena ia sudah kutitipkan padamu—katanya lembut. Siapa ???—tanyaku lagi. Kau akan tahu karena ia bagian dari dirimu—jawabannya kini halus dan penuh makna. Aku ingin kembali bertanya, tetapi otakku seakan ingin menutup usai semuanya, dan biarlah—hatiku menyerah... biar semua yang gelap tetap gelap, biar semua yang harus ada kini terlahir dan tetap ada. Keinginan mungkin ingin selalu merubah apa yang telah tertoreh jelas dalam garis tangan yang kita miliki, namun biarlah... biar kunikmati lakon ini sekali lagi, karena aku sudah menyerah, walau tak kalah, aku sudah lelah, walau tak pernah ingin rebah. Karena Matahari takkan bersinar selamanya. Karena takkan,,, sekali lagiadalah janji dengan Tuhan sampai nanti !!!!

+ + +

too many knots are tied
too many lips have lied
too many times I've tried
too many voices inside



*Sumnun, Al-Hallaj

No comments: