Friday, May 25, 2007

K O M A [ karena kalimatnya belum selesai ]

Karena saat kau dekat aku akhirnya jauh

Karena saat kau ingat aku akhirnya lupa

Karena saat kau cinta aku akhirnya benci

Karena saat kau datang aku akhirnya pergi,,,

Karena saat kau tulis titik aku berakhir dengan koma

Karena kalimatnya belum selesai—sampai sekarang

Aku berkutat membaca penggalan puisi Hardjawinata Kartha Winangun, sambil sesekali menguap karena kelelahan, tak lama Ibu mengetuk pintu kamarku lalu menawarkan segelas susu dan 1 tangkup roti isi keju, hari ini sama beratnya dengan hari kemarin—begitu ia selalu berbicara padaku, entah untuk apa mungkin untuk mengingatkan betapa perut yang terisi cukup akan membuat harimu sedikit lebih ringan. Dan seperti biasa aku memakan sarapan trademark ibu dengan berjalan terburu-buru ke arah kendaraan kesayanganku—volkswagen tua berwarna hijau hasil jerih payahku.

Namaku Bintang, anak tunggal dari seorang ibu yang sudah 25 tahun melajang. Ayahku hanya orang biasa, begitu ibu selalu bilang, karena seumur hidup aku hanya mengenalnya dari photo usang yang terselip di dompet ibu, mereka tidak pernah sempat menikah karena Ayah harus pergi menghadap yang Kuasa lebih cepat dari siapapun di hidup kami.

Ibu wanita yang tegar—hanya dengan mengandalkan keahliannya dalam bidang menjahit ia bisa menghidupiku hingga sebesar ini. Namun terkadang kulihat gelayut sayu yang menghias paras ayunya, sering kali kulihat ibu menatap cermin dengan gemas—karena apapun yang ia sembunyikan padaku tertoreh jelas dengan tatapnya.

Sesekali aku rindu sosok Ayah, dan dengan hanya mendengar cerita ibu tentang begaimana tampan dan gagahnya Ayah, aku merasa sudah terpuaskan—dari segala hasrat dan kerinduan akan Ayah. Sama seperti ibu, hanya dengan memandang kenangan usang itu—segala kerinduan dan cintanya terpuaskan sudah.

Nek dimana lo, cptan ke kantor dong, si Jampang udh ngamuk2 nanyain kebrdaan lo. Emang tu kodok bikin mslh lg ya? Pokonya lo cptan dtg deh, alsn gw udh abs bt bhongin tu kutu. Oia hr ini lo jd wawancara lsg Pak. Hardja, dandanan lo oke kan???

Sender : +628569329333

07:25:40

14/09/03

Namaku Bintang dan aku seorang jurnalis di salah satu majalah yang biasa mengulas tentang situasi penting berikut tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, dan hari ini bukan merupakan senin terberat dalam hidupku—hanya entah mengapa semangatku terlalu menggebu-gebu dalam reportase kali ini... Hardjawinata Kartha Winangun, nama tokoh yang siang ini akan aku wawancara, ia seorang penulis sekaligus pelukis, saat rezim orde baru, Pak Hardja merupakan salah satu penulis yang berlangganan tetap dengan hotel Prodeo karena kehebatan tulisannya. Ia mungkin tidak sematang dan sepedas Pramoedya Ananta Toer, namun justru karena kehalusannyalah ia patut keluar masuk penjara—tipikal mahasiswa muda yang geram karena akhirnya orde baru cuma momok yang lebih menakutkan dibanding orde lama. Tidak banyak fakta yang kutahu dari seorang Hardjawinata Kartha Winangun; selain kenyataan bahwa jalan halus yang dikamuflasekan olehnya ternyata masih tercium tajam oleh para badut-badut keparat itu, yang kutahu hanyalah bahwa ia tinggal sementara di kediaman adiknya bersama dengan 2 kucing dan satu great dane peliharaannya.

Iya... gw masih di jln, bntr lg jg nyampe. Blg sm si Jampang, gw lsg k rmh P. Hardja, tu org ptg st plg bnci sm tkg ngret... thanks yow !!!

Sender : +62818805880

07:45:55

14/09/03

Dan disinilah aku, didepan pagar besi model tua yang cat putihnya sewarna tulang, disambut oleh gonggongan great dane dan senyum ramah seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu pagar untukku lalu mempersilahkanku masuk kedalam rumah sedang bercat senada dengan pagarnya yang dikelilingi halaman yang tidak terlalu luas namun terlihat nyaman.

“Bapak sedang mandi Neng... Neng ini yang kemarin lusa datang kemari kan?”, tanya perempuan itu sambil menyuguhkan secangkir teh hangat dalam gelas porselen bergambar kincir angin.

“Iya bu.”, jawabku singkat.

“Bapak pesan sama saya supaya Neng disuruh menunggu sementara bapak mandi, Neng datangnya tepat sekali sih tidak seperti wartawati yang lain...”, balasnya.

“Bapak tidak suka menunggu, saya kira semua orang benci menunggu, tapi Bapak lebih saklek kalau sudah tidak suka... bisa-bisa beliau tidak mau tatap muka seumur hidup”, lanjut perempuan itu sambil tersenyum. Dan aku-pun membalasnya dengan senyuman, karena kemampuan berbasa-basiku sangat minim.

“Neng asalnya darimana?”, tanya perempuan itu kemudian ditengah-tengah hening yang tak sengaja kuciptakan.

“Saya lahir disini, tapi ibu saya dari Boyolali, kalau bapak saya dari Solo”, jawabku seadanya.

“wah sama dengan saya ya.... Saya sama Bapak aslinya dari Solo juga, Neng... tapi semenjak Bapak kuliah, kita imigrasi kesini, saya ikut Bapak soalnya saya kepingin pinter juga, sayang saya cuma mampu masuk sekolah keputrian... otak saya tidak sepinter Bapak kalau urusan sekolah tapi kalau urusan beres-beres saya jagonya”, tukas perempuan itu mencoba berkelakar, dan aku mengulas sedikit senyum ceria untuk menghargainya.

“Oh ya nama Neng siapa, daritadi ngobrol saya belum tahu namanya siapa?”, kembali ia bertanya kepadaku—pertanyaan tipikal khas keramahan orang Indonesia.

“Bintang... panggil saya Bintang saja bu”, jawabku seraya menyeruput teh hangat yang disuguhkan untukku, tenggorokanku terasa kering selama masa penantian ini.

Tak lama Pak Hardja datang dengan gaya santainya, kaus swan berikut celana pendek selutut sambil memegang rokok kretek di tangan kanannya.

“Nduk... kamu ngobrol dengan siapa?”, tanya Pak Hardja sambil melihat ke arahku.

“Ini loh Mas, wartawati yang mau wawancara Mas Win, daritadi sudah nungguin, tepat waktunya kelewatan sih Mas”, jawab perempuan yang akhirnya kutahu bernama Hapsari—adik kandung satu-satunya Pak Hardja.

Beliau hanya mengangguk sambil mengulurkan tangannya kearahku, “Hardjawinata Kartha Winangun, senang berkenalan dengan anda, bibit muda yang—semoga anda memiliki idealisasi dalam bentuk apapun”, memperkenalkan dirinya yang sudah kelewat tenar dimata semua orang.

“Bintang Artha, saya lebih senang akhirnya bisa mewawancarai Bapak”, jawabku singkat.

“Bintang Artha... nama anak Bintang Artha”, tanya Pak Hardja sambil bertatapan dengan Bu Hapsari yang juga mengernyit kebingungan.

“iya nama saya Bintang Artha, tapi panggil saya Bintang saja, Pak”, balasku keheranan, dan jawaban atas keherananku hanya dijawab oleh ulasan senyum mereka sambil menunjukan lukisan perempuan ayu yang terpampang di ruang tengah yang letaknya berseberangan dengan ruang kerja Pak Hardja.

+ + +

Nama wanita dalam lukisan itu adalah Bintang Artha, gadis penari yang terkenal di era akhir tahun 60 sampai 70-an. Parasnya ayu selalu mengulas senyuman khas penari—menggoda namun sulit diraih. Ia selalu menari di Pasar Seni 1 bulan 2 kali dalam beberapa pementasan terkenal, tak pelak membuatnya sangat tenar saat itu. Sayang ketenaran penari yang juga merupakan seorang penghibur berbeda dengan seorang aktor, aktris, atau bahkan penyanyi. Bintang Artha yang ayu membuat seorang Hardjawinata Kartha Winangun terpikat dalam sebuah pementasan yang menceritakan tentang kasih terlarang... saat itu sabtu malam ditengah udara sejuk pada pertengahan tahun 1975, Indonesia sudah berada dalam rezim baru—ujar Pak Hardja sambil sesekali menghisap rokok kreteknya, saat itu beliau merupakan mahasiswa kritis yang juga merasa perlu untuk berteriak-teriak atas nama kebebasan yang makin kencang dikekang saat orde baru oleh kekuasaan kaum militer, luapan-luapan kemarahan khas jiwa mudanya ia torehkan dalam puisi, cerita pendek, bahkan dalam lukisan—salah satu lukisannya bahkan sengaja ia bakar ditengah-tengah pusat keramaian sebagai salah satu aksi protes. Dan ditengah malam dingin di sabtu malam, setelah berhasil menjual salah satu karya seninya, Pak Hardja mampir ke Pasar Seni untuk sekedar mencari hiburan, dan disanalah ia bertemu dengan Bintang Artha, gadis ayu bermata bulat dan berkulit halus berwarna kuning langsat khas perempuan Indonesia, gemulai tariannya membuat Pak Hardja terpikat.

“Nama saya Hardjawinata Kartha Winangun, kalau boleh tahu nama Nona siapa?”, ujarku setelah melihat pementasannya 3 kali, saat itu kuberanikan diriku untuk bertanya kepada gadis ayu bak sedap malam itu.

“Bintang Artha, panggil saya Bintang saja, tuan baik sekali mau sungkan bertanya kepada saya”, jawabnya sambil menggenggam tanganku, tangannya yang halus membuatku mulai jatuh masuk perangkap.

“Saya pengagum anda, dan panggil saya Win... orang-orang biasa memanggil saya Win”, tukasku.

“Mas Win ini pengagum saya, aduh Mas Win ini bisa saja, saya ini cuma penari amatir, mosok punya penggemar...”, balasnya dengan intonasi suara yang halus namum alami.

Tak mungkin kau penari amatir—pikirku, kalau kau hanya seorang amatir mengapa kehalusan setiap lekuk gerakan tarianmu semakin membuatku jatuh kedalam imajinasi yang selama ini tak pernah kurasakan, mungkin kau Dewi atau Bidadari tapi kau sembunyi dibalik jubah ragawi manusia biasa; sama sepertiku, bedanya aku benar-benar hanya manusia biasa, manusia yang tak mungkin bisa memikat manusia lain hanya dengan olah gerak.

“Bintang... ehm... kalau saya boleh tahu, adik tinggal dimana?”, tanyaku gugup karena melihat sinar matanya silau berbinar, menyentuh halus sudut hatiku yang mencoba masuk.

“tanya rumah saja kok susah Mas Win, saya tinggal nggak jauh dari sini, cuma 2 blok kalau jalan....”, jawabnya lalu mengambil sobekan karcisku dan menuliskan sebuah alamat di dalamnya, “ini alamat saya kalau-kalau mas Win sudi mampir untuk sekedar membahas hal menarik, lukisan juga boleh...”, lanjutnya sambil menyerahkan kertas tersebut.

“kau suka lukisan juga, how interesting person...”, tanyaku.

“kemarin dulu Mas Win bikin pagelaran kecil-kecilan di kampus kan?!? Kebetulan saya ada perlu dengan teman di kampus Mas Win, jadi sekalian mampir sekedar melihat kepiawaian seorang Hardjawinata Kartha Winangun yang hobby melukis juga demonstrasi”, jawabnya manis sekali, sayang percakapan ini tidak berlangsung lama, Bintang harus pergi karena pamannya sudah menunggu diluar untuk menjemputnya pulang. Tetapi hanya percakapan ini yang usai, sedang hubungan antara kami baru saja dimulai.

Pak Hardja masih menghisap rokok kreteknya sambil sesekali mengusap peluh di dahinya, kini kami duduk di beranda samping yang asri, beberapa kali kucuri pandang ke arahnya yang sedang memberi makan ikan-ikan koi yang tumbuh sehat di kolam segar berukuran sedang diseberang kami. Tak lama waktu berselang Bu Hapsari datang seraya membawa beberapa kudapan buatannya sendiri.

“dimakan Nak Bintang, berbincang dengan Mas Win itu memakan waktu lama, jadi perut harus terisi kenyang, jangan sungkan dengan saya...”, ucap Bu Hapsari dengan senyum hangatnya.

“adik saya ini memang ramah sekali dengan orang lain, kemarin dulu ia menawari seorang banci yang sedang ngamen untuk makan siang disini”, sahut Pak Hardja.

Bu Hapsari kembali tersenyum hangat menanggapi perkataan kakaknya, Bu Hapsari memang perempuan paruh baya yang amat ramah, perawakannya yang kecil dan sedikit tambun membuatku mengingat tokoh bu Teko yang baik hati di cerita dongeng si Cantik dan si Buruk Rupa.

Tak sengaja kulihat hiasan disamping sayap kanan dan kiri pintu, lukisan horizontal cat minyak yang menggambarkan dua gerak tarian, pada lukisan di samping sayap kiri pintu, perempuan yang sedang menari itu memegang bokor di tangan kanannya, sedangkan di sayap kanan ia memegang bokor di tangan kirinya—segera saja Bu Hapsari melihat ketertarikanku akan lukisan itu.

“itu lukisan Mas Win untuk Eyang Putri, Eyang Putri seorang gadis Bali yang juga penari, lukisan itu dibuat saat Eyang Putri berulangtahun yang ke-70 tahun”, ujar Bu Hapsari menanggapi rasa tertarikku.

“mungkin itu pula yang membuat saya tertarik dengan Bintang Artha, saya sangat dekat dengan Eyang Putri, sedari kecil Ibu saya sibuk dengan bisnis kateringnya, jadi Eyang Putri bisa dibilang Nanny saya, beliau sering menari untuk saya, gemulai halusnya membuat saya terpana...dan Bintang Artha adalah perempuan kedua yang membuat saya diam menancap karena indahnya”, sambung Pak Hardja seraya melahap kudapan yang tersedia di meja marmer model tua.

Sudah hampir satu bulan semenjak perkenalan kami di Pasar Seni, bukannya aku enggan atau akhirnya merasa cukup puas hanya dengan mengetahui namanya. Namun hujan deras turun setiap malam sehingga pertunjukkan tari terpaksa dipersingkat menjadi sebulan sekali karena sepinya peminat. Sayangnya saat malam pementasan Bintang Artha, aku tidak bisa hadir karena harus disidang semalam suntuk oleh dewan senat yang kontraversi atas aksi bakar lukisan yang kulakukan dipusat keramaian tanpa restu mereka.

Maka kuputuskan malam ini untuk menemuinya di rumah, dengan bermodalkan skuter pinjaman dari Bang Sahal—editorku, aku nekat bertandang kerumahnya... rumah a’la Belanda yang bercat putih pucat dengan 2 anjing kitamani sebagai pengganti satpam. Lama kutimbang-timbang apakah sudah selayaknya aku singgah ke rumahnya, dan pada akhirnya tekadku bulat sudah untuk membunyikan bel rumahnya. Tak lama Bintang datang dengan rambut yang penuh roll dan daster abu-abu panjang; membuatnya seperti perempuan biasa dihadapanku.

Ia tinggal bersama Paman dan Bibinya dari pihak Ibu, kedua orangtuanya sudah lama mangkat, dan mewariskan rumah ini untuk Bintang dan adiknya—bocah laki-laki berwajah tirus yang saat aku datang sedang membuat pekerjaan sekolah.

Kedua orangtuanya meninggal saat Bintang berusia 15 tahun, keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang kuliah terpaksa ditunda karena adiknya lebih membutuhkan pendidikan saat ini. Kepiawaiannya menari ia gunakan untuk membunuh jenuh dan menambah tabungannya untuk meneruskan pendidikan, dan didalam rumah yang penuh dengan kenangan orangtuanya ini, Bintang mencoba mengolah satu demi satu masa depannya.

“menjadi gadis penari itu lebih sulit dari artist manapun Mas Win...”, ujarnya disela-sela obrolan kami yang menarik tentang tarian.

“selalu saja ada pikiran-pikiran usil yang berkutat di kepala sebagian pria-pria yang melihat saya... menganggap olah tubuh yang saya pentaskan sebagai ajang pembangkit birahi”, lanjutnya seraya menatap lekat mata saya...”bagaimana dengan Mas Win???”, tanyanya padaku.

“aku... aku mengagumi tarianmu”, jawabku singkat.

“bukan itu yang kumaksud, apakah Mas Win berpikiran serupa saat melihat saya mentas?”, tanyanya kemudian.

“aku... tidak !!!”, jawabku lalu menunduk karena tak kuasa menatap sinar matanya lebih lekat lagi... Yah aku tidak melihat pementasannya sebagai ajang bangkit birahi, aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihatnya menari—diam tak bergeming seperti orang kudus yang sedang syahdu melatunkan do’a untuk Tuhannya yang kelewat sibuk.

Perbincangan tentang kehidupan Pak Hardja kembali berlanjut dimeja makan saat makan siang berlangsung, hanya obrolan ringan yang tak terlalu berat, tentang bagaimana akhirnya ia sempat dipenjara karena salah satu cerita pendeknya yang mengulas kisah nyata salah seorang sahabat yang hilang diculik oleh penguasa saat itu; Kucing Garong judul cerita pendek kontraversi yang diterbitkan oleh salah satu koran ternama kala itu. Kalau hanya fiksi belaka mungkin tidak akan mengundangnya masuk bui, namun nama Pak Harto yang diganti dengan Pak Darto digambarkan persis serupa beserta detail pangkat dan kehidupan pibadinya yang lain, cerita pendek ini bahkan banyak digubah ke dalam beberapa pementasan drama bawah tanah yang juga muak dengan sistem militer. Karena ketenarannya inilah, sang penulis berhak masuk Hotel Prodeo dengan alasan menghina Presiden; ya Presiden yang juga membuat hidup kami hina selama seperempat abad.

“Mas Win ini memang unik Nak Bintang... dia itu punya hobby masuk bui kata Bapak”, ujar Bu Hapsari berkelakar.

“iya, saya ingat Bapak pernah sekali berkata demikian kepada saya... kamu itu hobby masuk bui Win, bikin susah orangtua saja !!! Bapak saya itu kepala sekolah SMA, jadi ya pegawai negeri... golongan orang-orang pasrah yang mau saja disuruh coblos partai kuning karena takut dituduh PKI”, tukas Pak Hardja kemudian.

Kali keberapa ia masuk bui ialah saat membuat cerita pendek berjudul Partai Kuning, partai yang berkuasa penuh saat kepemimpinan Pak Harto, Partai yang berwarna dasar kuning itu digambarkan oleh Pak Hardja sebagai kumpulan kotoran manusia yang menyaru bersih dan mengotori negara. Saat cerpen itu akhirnya terbit di salah satu majalah, Pak Hardja harus merasakan bagaimana sakitnya dipukul senjata tumpul dan diguyur kotoran manusia satu ember penuh dilorong menuju rumah Bintang Artha. Kala itu hubungan Pak Hardja dengan Bintang Artha sudah semakin dekat dan serius, aku tidak bisa membayangkan kalau Kites, kekasihku—harus merasakan perlakuan serupa dengannya, bisa-bisa aku mencak-mencak tak keruan sepanjang minggu.

+ + +

Obrolan kami lanjutkan didalam studio milik Pak Hardja, dahulu ruangan itu merupakan ruang kerja milik almarhum suami Bu Hapsari. Kini ruangan tersebut diubah menjadi studio lukisan—tempat dimana Pak Hardja menyelesaikan lukisannya. Dari studio ini bisa kulihat seberapa besar rasa kagum dan kecintaannya terhadap Bintang Artha, juga entah mengapa selalu datang perasaan berdesir saat kulihat lukisan itu—lukisan yang selalu menggambarkan objeknya dari samping. Sedari tadi kupikirkan, mengapa nama kami dapat serupa... Bintang Artha, apakah ibuku salah satu pengagumnya atau mungkin ia teman terdekat ibu, setahuku ibu menamakanku Bintang Artha karena kedekatannya dengan arti nama tersebut—tak pernah sekalipun ia jelaskan arti nama itu sendiri... Sementara aku melihat lukisan-lukisan Bintang Artha, Pak Hardja berkutat membuat campuran cat minyak untuk sebuah lukisan yang sedang ia kerjakan, terkadang aku melihatnya sebagai sosok yang selama ini aku rindukan—entah mengapa, lagi-lagi imajinasi yang sebelumnya kutahan hadir memaksa masuk, lagi-lagi kenangan akan ibu yang semakin merajah tubuhku mendobrak masuk kedalam otakku yang sudah terlalu penuh dihuni oleh seribu pikiran tidak masuk akal.

Bintang Artha... yah namaku Bintang Artha, dan nama yang perempuan yang membuat Pak Hardja jatuh hati juga Bintang Artha, gadis penari yang ia gambarkan bagai Dewi, beruntungkah ia dapat dicintai oleh pria yang begitu populis atau meranakah ia karena harus menerima deraan terus-menerus karena kekritisan kekasihnya, namun dibalik semua pertanyaan itu, hanya satu yang mengganjal pikiranku, dimanakah ia sekarang ?.

Siang ini terik matahari menyapa lagi, dengan berjalan lunglai aku menghampiri Bintang Artha yang sedari tadi menungguku di taman depan perpustakaan kampus. Dua tahun sudah hubungan kami terjalin, dan kebahagiaan seakan tak habis diberikan Tuhan oleh kami. Bahkan keberhasilan Bintang Artha dalam hampir seluruh pementasannya tak urung membuat kami merasa bertambah bahagia, tak pernah sekalipun dalam hidupku, kurasakan kekaguman dan kecintaan yang begitu menyatu dan melebur dalam suatu romansa yang kelewat indah.

“Mas Win... ada yang ingin kusampaikan padamu”, ujarnya saat kuraba halus jemarinya.

“ada apa, katakan saja...”.

“aku... sudah lama ingin kukatakan ini padamu, sudah lama ingin kusampaikan semua perihal hidupku, dan sudah lama pula aku ingin meminta bantuanmu, tetapi...”.

“tapi apa, kau kekasihku, aku patut untuk tahu”.

Bintang Artha terdiam dan menggulirkan setetes airmata di pipinya. Aku mungkin bintang, tapi bukan bintang yang tak pernah dijamah seperti bintang-bintang lain di angkasa—ucapnya tercekat. Latar belakangku hitam, sudah beratus-ratus kali kutampik, namun tak bisa kuelakkan bahwa aku sudah tidak memiliki harta yang dijaga oleh seluruh perempuan di muka bumi ini. Malam itu tanggal 2 Oktober tahun 1965, mungkin semua orang tahu persis apa yang terjadi pada hari itu di daerah Jawa Tengah, dan aku salah satunya. Ibuku juga seorang penari; penari yang tergabung dalam Gerwani, aku dan adikku bangga memiliki darah seorang wanita pejuang, sayang mereka berpikir kalau Gerwani cuma organisasi yang berisi perempuan-perempuan penari telanjang yang menari sambil diiringi Genjer-Genjer. Dan malam itu, bapak dan ibuku diambil—kami diambil, malam dimana aku memohon dengan sangat untuk ikut ditembak dengan kedua orangtuaku, daripada harus berada di atas himpitan seorang perwira hidung belang yang juga masih kerabat dekat Bapak. Selama 2 tahun aku dan adik terlunta-lunta, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, meringkuk kedinginan di atas truk tentara ditengah malam yang dingin mencekam, sampai akhirnya Paman dari pihak ibu yang juga anggota tentara mengambilku dan adik, mengurus kami yang trauma setengah mati saat memasuki rumah asing, yang kuakui sebagai rumah pribadi yang diwariskan padaku.

“sungguh ingin kukubur semuanya, tertimbun rapat dan hampa udara...”.

“tapi untuk apa???”.

“aku ingin sepertimu... manusia biasa”.

“yang mencoba menjadi luar biasa”.

+ + +

“Dimana Bintang Artha sekarang, Bapak?”, tanyaku mencoba memberanikan diri mengajukan isi otakku.

“Entahlah, aku tidak pernah bertemu dengannya semenjak... semenjak kami berpisah.”.

Pada akhir tahun 1977, Pak Hardja dan kekasih yang paling dicintainya berpisah, mereka berpisah tepat di depan Gedung Pasar Seni, yang juga tempat dimana mereka dipertemukan oleh keajaiban. Saat itu situasi kehidupan Pak Hardja tambah tak keruan, menyusul dampak dari hasil karangannya yang berjudul Partai Kuning, Pak Hardja harus merasakan bagaimana hidup ditengah keterasingan. Saat itu Bapak Negara kita bukan hanya dengan mudah mengubah kehidupan ekonomi dan pendidikan bagi warganya—tapi juga dengan mudah menyingkirkan orang-orang yang mengancam imperium tak kasat yang ia bangun. Pada sore yang hangat di bulan Desember, seorang teman seperjuangan memperingatinya bahwa ia akan kembali masuk bui karena selebaran yang tersebar di seluruh penjuru kota tentang Partai Kuning yang ia buat. Dan penangkapan kali ini tidak akan membuat hidupnya merasakan matahari dari dua sisi lagi, atas dukungan para sahabat—Pak Hardja diminta mengasingkan diri.

“Kala itu, kalau tidak mati yang disiksa sampai ingin mati”,ujar Pak Hardja sambil terus melukis. Dan Bintang Artha tak dapat menahan haru namun juga tak kuasa menahan kekasihnya lebih lama tinggal di Indonesia.

“Saya bilang saya harus pergi padanya, ia menangis—seperti biasa namun tangisnya hening tak bersuara, ia cuma diam... diam dan hanya mengucap satu kata”, tukas Pak Hardja sambil membenarkan letak kacamatanya.

“Aku harus pergi, situasi mulai tidak kondusif disini.”ucapku.

“ya aku tahu Mas”.

“katakan sesuatu, katakan sesuatu untuk menenangkanku...”

“katakan sesuatu sebelum aku pergi...”

Saat ini waktuku terbatas, waktuku sangat terbatas ketika menggenggam tangannya, penerbangan menuju pengasinganku tinggal satu jam lagi, dan Bintang Artha masih tetap diam—menggantung sayu dalam pelukanku. Selang berapa waktu, Bang Sahal yang akan mengantarku sampai ke Belanda, memanggilku karena memang aku sudah harus berangkat. Tetapi hatiku berat, karena Bintang Artha masih tak bergeming.

“aku harus pergi...”

“aku,,,,”

“sampai jumpa.”

“Dan Bintang Artha tidak berkata apapun sampai akhir keberangkatan saya, hanya kata itu, aku... menggantung berarti namun tak dapat kutangkap artinya”.ujar Pak Hardja

“Anda tidak tahu?”, tanyaku penasaran.

“kamu pernah membaca novel saya yang berjudul Biru?”, balas Pak Hardja bertanya.

“ya, sebelum berangkat kerumah Bapak hari ini”.

“Karena saat kau dekat aku akhirnya jauh...Karena saat kau ingat aku akhirnya lupa...Karena saat kau cinta aku akhirnya benci…Karena saat kau datang aku akhirnya pergi,,,”.

“Karena saat kau tulis titik aku berakhir dengan koma...Karena kalimatnya belum selesai—sampai sekarang...”

“kalimatnya belum ia selesaikan Bapak”, lanjutku.

“itu bukan puisi saya, itu puisinya dalam surat pertama dan terakhir yang ia berikan pada saya pada tanggal 30 Juli 1978, puisi yang saya sisipkan dalam sebuah novel untuknya”.

+ + +

Citrawati menatap lekat photo pria bertubuh tegap dan berkulit cerah itu—entah untuk yang keberapa kali dalam sehari ini. Pesonanya yang hampir 25 tahun dicobanya untuk dikubur hidup-hidup, tetap meninggalkan sisa-sisa kejayaan sampai sekarang. Berulang kali ia mencoba menghapus ingatan akan pria itu, namun hasil kasih mereka begitu mengingatkannya dengan parasnya sewaktu muda dulu, dan wataknya begitu mirip kau Mas—bathin Citrawati, kali ini tanpa tangis yang biasa. Pikirannya menerawang ke masa ia masih muda dulu, tubuhnya yang begitu gempal dan tariannya yang begitu halus, mengundang banyak peminat yang memang saat itu sedang makmur namun sengsara pada kenyataaanya. Dan pria yang disimpannya erat di sudut hatinya yang paling dalam adalah satu-satunya peminat yang berhasil memikat hati Citrawati, seorang pelukis yang juga gemar menulis dan protes dengan sistem yang berlaku, aku begitu mencintainya, begitu mengaguminya, begitu bangga padanya, walau saat dunia nyata mengetuk pagi hari hidup kami, ketakutan selalu menjalar cepat dalam aliran darahku. Tak kuasa kulepas malam indah yang meninabobokan kami dalam buaian mimpi, pergi begitu saja saat sang Dewa Surya harus kembali bertahta. Aku tahu hari itu akan datang, hari dimana ia harus kulepas pergi untuk menyelamatkan nyawanya, untuk menyelamatkan nyawa kami—untuk yang kesekian kalinya, aku harus berpisah dengan pelipur laraku demi hidupku. Saat itu sebenarnya aku sedang mengandung, tapi Bang Sahal melarangku untuk memberitahunya, khawatir ia akan menolak rencana untuk tinggal di Belanda sementara waktu, sedangkan jika penolakan itu dilakukannya, nyawanya terancam—hidupnya dan hidupku juga hidup jabang bayi ini terancam. Maka kukunci rapat perihal ini darinya, menggantung kata aku saat kepergiannya.

Kebahagiaan itu tak semuanya hilang begitu saja di depan mataku, 9 bulan setelah kepergiannya, putri pertama kami lahir, lahir dengan sehat dan sempurna. Lahir di malam sejuk pada tanggal 29 Juli yang penuh bintang pukul 22.30 di kediaman paman dan bibiku. Tak kuasa aku menahan haru, tak kuasa aku berteriak memanggil namanya, berharap kencangnya suara yang kukeluarkan menembus dinding keratonmu Tuhan, mewujudkan mimpiku untuk kembali bersamanya. Namun sampai detik dimana Bintang Artha kubuatkan akte kelahiran, ia tak juga kunjung muncul dan menjadi Ayah dari putri mungil kami. Perihalmu sangat ingin kuceritakan padanya, Mas—bathinku lagi, namun lagi-lagi penguasa-pengusa bangsat itu memaksaku mengurungkan niatku, aku khawatir Bintang Artha menderita, lahir dari seorang ibu yang anak dari keluarga PKI dan Ayah yang buronan politik. Ia tak mungkin berhasil seperti sekarang apabila identitasnya tak kupalsukan—identitasku tak kupalsukan. Setahun setelah kepergianmu, Bang Sahal dan Hapsari membantuku memalsukan identitas diriku supaya aku bisa memiliki KTP dan membuatkan Bintang Artha akte kelahiran, walau didalamnya namamu tak dapat kucantumkan. Dan aku.... yah aku tetap Bintang Artha yang dulu, hanya kuganti namaku menjadi Citrawati, dan aku-pun berhenti menari. Aku tak kuasa memendam kenangan itu setiap kali melihat dan beraktifitas di Pasar Seni, segala memori itu berawal dan berakhir disana, disana kau datang dan disana pula kau pergi meningalkanku.

Citrawati menghela napasnya dalam, berharap saat akhirnya napas itu berhenti, kekasihnya ada disampingnya untuk membantunya mengucap kalimat syahadat, berharap di akhir hidupnya ia bisa melihat keluarganya berkumpul, berharap Bintang akhirnya menemukan seseorang yang seharusnya ia panggil Ayah. Namun sekali lagi, impian itu harus musnah dari akal sehatnya, ia tak mungkin dapat menemukan kekasihnya, kemungkin besar ia telah meninggal duniat atau identitasnya-pun diganti, walau ia tahu kekasihnya tidak sepengecut dirinya. Dipenghujung rasa sakit dan deritanya malam ini—ditaruhnya photo usang itu dalam tempat semula—Novel Biru karangan kekasihnya yang memang diperuntukkan olehnya.

+ + +

Aku diam kudus menabur bunga di pusara ibu, ia tak pernah berkata apapun perihal Hepatitis yang di deritanya, ia bahkan tak pernah mengeluh kesakitan padaku. Andai aku tahu, kesehatannya memburuk semenjak kelahiranku, aku mungkin berharap untuk mati dalam perutnya. Perempuan tangguh ini akhirnya harus menghembuskan napas terakhirnya sendirian, aku menyesal saat dimana aku seharusnya menggenggam jemari ibu dan mengecup keningnya untuk kehangatan terakhir sebelum ia mangkat—aku berada di tempat lain, sibuk mengerjakan proyek penerbitan buku novel Hardjawinata Kartha Winangun yang terbaru. Aku tak pernah tahu keinginan seorang Citrawati—keinginan ibu, segalanya tersembunyi di matanya, dan mata itu disembunyikannya erat-erat dari pandanganku. Hanya secarik kertas ini peninggalannya untukku, segalanya yang belum sempat ia kemukakan padaku, hanya dibingkainya dalam puisi singkat yang ditaruhnya di meja komputer di ruang tengah—tempat dimana aku menghabiskan malamku mengerjakan tugas kantor.

Biarlah yang gelap menjadi gelap

Karena inginku yang selalu meringkuk pekat

Biarlah dosa ini menjadi dosa

Karena mauku sesal ini seumur hidup

Biarlah yang palsu tetap palsu

Karena harusku menyaru dalam nama baru

Dan Biarlah yang menjadi rahasia tetap rahasia

Karena takdirku diam tercekat bersembunyi.

Kembali aku mengusap batu nisan di pusara ibu, disana tertoreh jelas namanya—Citrawati Husein binti Abdul Husein, 25 Desember 1955-30 Juli 2005. Iya... ini bahkan lebih dramatis dari sinetron manapun yang ditayangkan di televisi. Kenapa kau begitu murah hati menjemput ibuku pergi, tepat 1 hari setelah hari jadiku, tepat satu hari setelah ia mencium kening dan pipiku lalu memelukku erat di malam 29 Juli. Apakah Kau tidak miris atau bahkan mungkin puas dengan semuanya, dengan lakon sempurna ini, sekali lagi !!!

No comments: